Pengakuan Negara Palestina: Tantangan Kedaulatan dan Hak Pengungsi

Pengakuan Negara Palestina: Tantangan Kedaulatan dan Hak Pengungsi--

Pengakuan sejumlah negara Barat terhadap Palestina jelang Konferensi Internasional Penyelesaian Palestina dan Sidang Umum PBB ke-80 pada 22-23 September 2025, kembali menimbulkan perdebatan mengenai solusi dua negara. Inggris, Prancis, Portugal, Australia, hingga Kanada menyatakan dukungan atas berdirinya negara Palestina merdeka, yang juga ditegaskan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya.

Namun, pertanyaan mendasar muncul: seperti apa negara Palestina yang sebenarnya dimaksud? Apakah benar-benar merdeka dan berdaulat penuh atas tanah, laut, udara, serta kebijakan, atau sekadar entitas administratif yang terbatas, tanpa militer, dan bergantung pada koordinasi keamanan dengan Israel?

Kedaulatan yang Dipertanyakan
Rancangan solusi dua negara versi Barat sering membayangkan Palestina dengan kedaulatan terbatas. Perbatasan, ruang udara, dan akses laut tetap berada di bawah kontrol Israel, mirip kondisi saat ini di Tepi Barat dan Gaza. Tanpa kontrol penuh, pengakuan negara hanya bersifat simbolik, tanpa substansi nyata.

Negara Tanpa Tentara
Konsep ini menekankan demiliterisasi Palestina, melarang perlawanan bersenjata, dan mengkriminalisasi mekanisme pertahanan diri. Hal ini menimbulkan dilema, sebab negara merdeka membutuhkan kemampuan membela diri, terutama bagi Palestina yang telah lama menghadapi agresi militer.

Batas Wilayah yang Samar
Isu perbatasan juga krusial. Ekspansi permukiman Israel di Tepi Barat membuat wilayah Palestina potensial terpecah menjadi kantong-kantong, jauh dari kesatuan geografis yang nyata. Palestina idealnya mencakup Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota, sesuai hukum internasional.

Yerusalem dan Hak Pengungsi
Al-Quds (Yerusalem Timur) menjadi simbol identitas dan spiritualitas bagi rakyat Palestina. Hak kembali pengungsi (right of return) juga kerap diabaikan dalam peta jalan dua negara. Tanpa itu, solusi yang diusulkan tidak menyentuh akar persoalan.

Pemerintahan Terbatas
Pemerintah Palestina di bawah konsep dua negara berpotensi tetap bergantung pada bantuan luar dan berfungsi sebagai mitra koordinasi keamanan bagi Israel. Akibatnya, negara Palestina versi Barat lebih mirip instrumen stabilitas Israel daripada entitas merdeka.

Normalisasi Terselubung
Solusi dua negara versi Barat berpotensi menjadi alat diplomasi bagi normalisasi Israel dengan dunia Arab, bukan jaminan kemerdekaan Palestina. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyebut pengakuan Palestina tidak mengancam Israel, melainkan memuluskan normalisasi.

Jalan Menuju Keadilan Sejati
Negara Palestina sejati harus memiliki kedaulatan penuh, hak pertahanan, wilayah lengkap, Al-Quds sebagai ibu kota, pengakuan hak pengungsi, dan keadilan bagi korban penjajahan. Tanpa itu, pengakuan formal hanyalah simbol politik tanpa makna.

 

Sejarah menunjukkan bahwa perdamaian tanpa keadilan tidak bertahan lama. Oleh karena itu, pengakuan internasional harus diikuti langkah nyata: penghentian penjajahan, pencabutan blokade, pemulihan hak pengungsi, dan jaminan kedaulatan. Rakyat Palestina menuntut kemerdekaan sejati yang menjamin hak, martabat, dan kedaulatan penuh.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan