Pidato di PBB Dipuji, Tapi Amnesty Kritik Ketidaksesuaian

Presiden RI Prabowo Subianto saat berpidato di Gedung PBB. Radar grup--
RADARLAMBARBACAKORAN.CO – Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum PBB beberapa waktu lalu menuai perhatian luas. Meski dipuji oleh sebagian pihak karena retorikanya yang menekankan perdamaian dan keadilan global, Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa isi pidato tersebut tidak mencerminkan arah kebijakan luar negeri maupun domestik Indonesia secara nyata.
Amnesty menyoroti ketidaktegasan Presiden dalam menyebut secara eksplisit tragedi kemanusiaan di Palestina sebagai genosida. Padahal, lembaga-lembaga internasional, termasuk PBB, telah mengonfirmasi adanya pelanggaran berat terhadap HAM yang dilakukan oleh Israel di wilayah tersebut. Pilihan diksi yang dinilai terlalu lunak justru dikhawatirkan mengaburkan tanggung jawab pelaku kekerasan.
Organisasi HAM tersebut juga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk lebih aktif mendorong pengakhiran pendudukan ilegal Israel, serta mendesak penghentian kerja sama dengan entitas yang terlibat dalam pelanggaran HAM, sesuai dengan pendapat hukum internasional terbaru yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli 2024.
Selain isu internasional, Amnesty menyoroti bahwa dalam negeri Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan serius terkait pelanggaran HAM. Salah satunya adalah kurangnya pengakuan dan penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pascakemerdekaan, yang hingga kini belum menemukan titik terang.
Pidato yang menyentuh tema kolonialisme juga dinilai tidak konsisten karena mengabaikan situasi di Papua. Di wilayah tersebut, persoalan militerisasi, diskriminasi rasial, dan kebijakan pembangunan yang mengabaikan hak masyarakat adat masih terus berlangsung. Program seperti food estate di Merauke disebut sebagai contoh proyek yang mengancam hak atas tanah masyarakat adat dan dilakukan tanpa partisipasi aktif dari mereka.
Dalam konteks kebijakan HAM nasional, Amnesty juga menyesalkan tidak adanya langkah konkret dari pemerintah untuk meratifikasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, yang seharusnya menjadi bagian dari komitmen Indonesia terhadap keadilan global. Meski pernah masuk dalam Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) sejak 1998, ratifikasi tersebut justru tidak dilanjutkan pada periode pemerintahan sebelumnya.
Amnesty menegaskan bahwa kepercayaan dunia terhadap Indonesia tidak hanya dibangun melalui pidato yang menggugah, tetapi juga melalui tindakan konkret yang mencerminkan prinsip keadilan, keberpihakan pada HAM, dan konsistensi antara kata dan perbuatan. (*/rinto)