Menkeu Mau Hapus Utang Rp1 Juta Biar Warga Bisa Ajukan KPR

Pemutihan utang kecil Rp1 juta bagi calon pembeli rumah bersubsidi bisa dianggap tepat secara sosial, tapi ada ancaman moral hazard dari sisi tata kelola keuangan. Foto ANTARA--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Pemerintah berencana menghapus utang macet di bawah Rp1 juta milik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Langkah yang digagas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ini ditujukan untuk membuka kembali akses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi bagi masyarakat yang sebelumnya terganjal catatan kredit kecil di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK.
Kementerian Keuangan melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) kini tengah mendata calon debitur yang tidak bisa mengajukan KPR akibat tunggakan kecil tersebut. Purbaya juga berencana bertemu dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna memastikan kebijakan ini dapat berjalan tanpa melanggar prinsip kehati-hatian perbankan.
“Komisioner BP Tapera melaporkan ada lebih dari 100 ribu orang yang terhalang akses KPR karena catatan utang kecil. Kalau nilai tunggakannya di bawah Rp1 juta dan pengembang bersedia menanggung sebagian, maka kebijakan ini bisa segera jalan,” ujar Purbaya di Jakarta, Selasa (14/10).
Langkah ini muncul setelah Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait melaporkan banyak pengembang yang mengeluhkan kendala SLIK OJK. Ia berharap koordinasi Kementerian Keuangan dan OJK dapat mempercepat penyaluran rumah subsidi dan meningkatkan penyerapan anggaran sektor perumahan.
Namun, sejumlah ekonom menilai kebijakan pemutihan tersebut perlu dirancang hati-hati agar tidak menimbulkan moral hazard. Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyebut penghapusan utang kecil bisa bermanfaat bila diposisikan sebagai mekanisme pemulihan kredit (de-minimis cure), bukan penghapusan tanpa syarat.
“Kebijakan ini bisa memperluas akses KPR subsidi dan mempercepat serapan dana FLPP, tetapi harus dibatasi untuk pembelian rumah pertama dan calon debitur MBR yang benar-benar layak,” ujarnya. Ia mengingatkan risiko timbulnya persepsi ketidakadilan dan kemungkinan lonjakan gagal bayar dini jika bank melonggarkan uji kemampuan bayar.
Ekonom CELIOS Nailul Huda menilai kebijakan ini juga perlu mempertimbangkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) bank. Menurutnya, setiap lembaga keuangan sudah memiliki mekanisme pemutihan tersendiri yang disesuaikan dengan kekuatan cadangan dan profil nasabah. “Kuncinya bukan di besaran utang, tapi di kemampuan bayar. Kalau masih mampu bayar meski menunggak kecil, harusnya tak otomatis dapat pemutihan,” jelasnya.
Pandangan serupa disampaikan analis Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita. Ia menyebut langkah Purbaya bisa dinilai humanis dari sisi sosial karena membantu MBR kembali mendapatkan akses rumah, tetapi secara tata kelola fiskal dan perilaku keuangan, kebijakan itu perlu diawasi ketat.
“Masyarakat bisa berasumsi utang kecil akan selalu dihapus di masa depan. Karena itu, perlu pembatasan tegas, pelaksanaan satu kali saja, integrasi data penerima, dan edukasi publik bahwa ini adalah langkah pemulihan, bukan pembebasan permanen,” katanya.
Pemerintah berharap kebijakan ini dapat menjadi jembatan bagi ribuan keluarga berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah pertama mereka tanpa menimbulkan gejolak di sistem keuangan nasional. Namun, tanpa pengawasan dan kriteria yang jelas, langkah baik ini bisa berubah menjadi preseden buruk dalam disiplin fiskal dan perilaku kredit di masa mendatang.