Radarlambar.Bacakoran.co - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap terhadap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Penetapan ini memicu berbagai tanggapan, salah satunya dari Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, yang menyoroti kinerja KPK di masa lalu.
Rudianto, yang berasal dari Partai NasDem, mengkritik pimpinan KPK periode sebelumnya karena dinilai lamban dalam menangani sejumlah kasus, termasuk kasus buronan Harun Masiku. Menurutnya, hal tersebut telah memicu persepsi negatif di tengah masyarakat.
Menurut Rudianto, sejak awal pihaknya telah mendorong agar setiap kasus ditangani dengan profesional, transparan dan tanpa kesan politis. Jika terdapat kesalahan, tentu harus ditemukan, bukan dicari-cari. Tapi juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ada kekeliruan di masa lalu.
Sorotan terhadap Pimpinan KPK Sebelumnya
Rudianto menilai kepemimpinan KPK sebelumnya, di bawah Firli Bahuri, gagal menuntaskan kasus-kasus besar, termasuk upaya menghadirkan Harun Masiku yang hingga kini masih buron.
Ditegaskannya, kasus itu menjadi liar dan berlarut-larut, sehingga memunculkan berbagai spekulasi di masyarakat. Ada yang menilai kasus itu dipolitisasi, ada pula yang menganggap ada pihak tertentu yang ditarget, sehingga hal itu merugikan kredibilitas KPK.
Dia juga menyayangkan lambannya pengungkapan kasus tersebut yang dinilainya dapat menimbulkan kesan KPK tidak serius dalam menangani perkara. Dia mengaku jika pihaknya tidak ingin kasus yang sudah berjalan bertahun-tahun baru diungkap lagi. Hal itu menjadi pekerjaan rumah besar bagi KPK agar ke depan lebih transparan dan efektif.
Penetapan Hasto Kristiyanto sebagai Tersangka
Dalam konferensi pers yang digelar Selasa 24 Desember 2024 sore di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan peran Hasto dalam kasus ini. Kasus bermula saat Hasto disebut berupaya agar Harun Masiku, calon legislatif dari PDIP, bisa masuk ke DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).