Trump Akan Kirim Migran Ilegal ke Teluk Guantanamo, Apa Dampaknya?

Sabtu 01 Feb 2025 - 15:03 WIB
Reporter : Mujitahidin
Editor : Mujitahidin

Radarlambar.Bacakoran.co - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan rencana pembangunan fasilitas penahanan bagi para migran ilegal di Teluk Guantanamo. Fasilitas tersebut dikabarkan mampu menampung hingga 30.000 orang dan berada di Pangkalan Angkatan Laut AS di Kuba. Langkah ini menimbulkan berbagai reaksi, baik dari dalam negeri maupun internasional.

Rencana Trump dan Tujuan Pembangunan Fasilitas

Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa fasilitas ini akan digunakan untuk menahan “imigran ilegal kriminal paling berbahaya yang mengancam rakyat Amerika.” Ia juga menyebut bahwa lokasi ini berbeda dari penjara militer berkeamanan tinggi yang selama ini berada di pangkalan tersebut.

Trump dalam pidatonya Rabu 29 Januari 2025 kemarin mengaku bahwa pihaknya akan mengirim imigran gelap ke Guantanamo.

Pembangunan fasilitas ini bertepatan dengan ditandatanganinya Undang-Undang Laken Riley, yang mengatur bahwa migran tak berdokumen resmi yang terlibat dalam tindak kriminal harus ditahan sambil menunggu persidangan. UU ini dinamai berdasarkan nama seorang mahasiswa keperawatan di Georgia yang tewas dibunuh oleh seorang migran asal Venezuela tahun lalu.

Trump juga menyebut bahwa para migran yang dicegat oleh Penjaga Pantai AS akan langsung dikirim ke fasilitas ini. Menurutnya, langkah ini akan menggandakan kapasitas AS dalam menahan migran tidak berdokumen.

Sejarah Guantanamo Sebagai Pusat Penahanan

Teluk Guantanamo memiliki sejarah panjang sebagai tempat penahanan. Setelah serangan 11 September 2001, pemerintahan Presiden George W. Bush menjadikan fasilitas ini sebagai pusat penahanan bagi tersangka teroris. Fasilitas tersebut mulai beroperasi pada 2002 dan saat ini masih menampung 15 tahanan, termasuk Khalid Sheikh Mohammed, tersangka utama serangan 9/11.

Selain itu, Guantanamo juga menahan Hambali, seorang pria asal Indonesia yang disebut sebagai dalang serangan bom Bali 2002. Bersama dua orang terduga teroris asal Malaysia, ia mulai diadili di pengadilan Guantanamo pada 2021 setelah menunggu selama 15 tahun tanpa dakwaan.

Guantanamo juga memiliki Pusat Operasi Migran Guantanamo (GMOC), fasilitas kecil yang telah digunakan selama beberapa dekade untuk menahan migran yang mencoba memasuki AS secara ilegal, terutama dari Haiti dan Kuba. Trump berencana memperluas fasilitas ini, dengan pengelolaannya berada di bawah Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai (ICE).

Tanggapan dan Kritik Terhadap Kebijakan Ini

Rencana Trump menuai beragam reaksi dari berbagai pihak, salahsatunya yakni Deepa Alagesan, seorang pengacara senior di International Refugee Assistance Project (IRAP), menyebut kebijakan itu sebagai prospek yang menakutkan. Ia khawatir fasilitas itu akan digunakan untuk menahan migran tanpa batas waktu dalam kondisi yang tidak manusiawi.

Vince Warren, Direktur Eksekutif Center for Constitutional Rights, menyatakan bahwa kebijakan ini mengirimkan pesan berbahaya dengan menganggap para migran sebagai ancaman setara dengan teroris. Ia juga mengkritik bahwa fasilitas ini akan mencabut hak-hak hukum dan sosial para migran yang ditahan.

Beberapa organisasi hak asasi manusia, termasuk American Civil Liberties Union, juga meminta transparansi mengenai kondisi di Guantanamo. Mereka mendesak pemerintah AS untuk mengungkapkan catatan resmi mengenai fasilitas tersebut. Pemerintahan Biden sebelumnya menyatakan bahwa Guantanamo bukan fasilitas penahanan bagi migran, tetapi pemerintahan Trump bersikeras bahwa ekspansi tersebut ditujukan untuk tujuan tersebut.

Reaksi dari Pemerintah Kuba

Kategori :