RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Ketegangan geopolitik kembali meningkat setelah Presiden AS Donald Trump meminta akses ke 'harta karun langka' Ukraina, yakni mineral tanah jarang atau rare earth elements (REE), sebagai imbalan atas bantuan militer yang diberikan kepada negara tersebut. Permintaan ini langsung mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Kanselir Jerman Olaf Scholz.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menegaskan bahwa negaranya tidak akan menyerahkan sumber daya mineral tersebut begitu saja, meskipun kepada sekutu terdekatnya.
"Kami memiliki sumber daya mineral. Ini tidak berarti bahwa kami memberikannya kepada siapa pun, bahkan kepada mitra strategis," tegas Zelensky dalam unggahan media sosialnya, mengutip AFP, Minggu (9/2/2025).
Namun, di sisi lain, ia juga membuka peluang investasi bagi negara-negara yang ingin bekerja sama dengan Ukraina dalam pengembangan industri tanah jarang.
"Ini adalah tentang kemitraan. Masukkan uang Anda. Berinvestasi. Mari kembangkan ini bersama-sama dan hasilkan uang," tambahnya.
Tanah jarang merupakan komponen krusial dalam berbagai teknologi modern, mulai dari smartphone, kendaraan listrik, hingga sistem pertahanan militer seperti jet tempur dan rudal canggih.
Selama ini, China menguasai lebih dari 60% produksi global mineral ini, membuat banyak negara Barat berupaya mencari alternatif untuk mengurangi ketergantungan mereka pada Beijing.
Ukraina diketahui memiliki cadangan tanah jarang yang sangat besar, termasuk titanium dan uranium, yang diklaim sebagai yang terbesar di Eropa. Dalam wawancara dengan Reuters, Zelensky bahkan menyebut nilai kekayaan mineral negaranya mencapai "triliunan dolar".
Permintaan Trump ini diduga sebagai bagian dari strategi AS untuk mengamankan pasokan bahan baku strategis di tengah ketegangan perdagangan dengan China. Jika Washington berhasil menjalin kesepakatan dengan Kyiv, ini bisa menjadi pukulan besar bagi dominasi China di industri tanah jarang.
Namun, pendekatan Trump ini mendapat kritik dari Eropa, terutama dari Jerman. Kanselir Olaf Scholz menilai bahwa bantuan kepada Ukraina seharusnya tidak bersyarat.
"Kami membantu (Ukraina) tanpa meminta imbalan. Ini seharusnya menjadi posisi semua orang," ujarnya dalam wawancara dengan grup media RND.
Pernyataan Scholz mencerminkan perbedaan pendekatan antara AS dan Uni Eropa dalam mendukung Ukraina. Sementara AS, di bawah pemerintahan Trump, tampak lebih transaksional dalam berhubungan dengan Kyiv, Eropa cenderung melihat bantuan sebagai kewajiban moral dan strategis untuk melawan pengaruh Rusia.
Ukraina berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka membutuhkan bantuan militer AS untuk melawan agresi Rusia. Di sisi lain, mereka juga tidak ingin menyerahkan aset strategisnya secara cuma-cuma atau dengan harga murah.
Jika Ukraina menerima tawaran Trump, ada potensi mereka kehilangan kendali atas sumber daya bernilai tinggi ini. Namun, jika menolak, mereka bisa kehilangan dukungan penting dari Washington.
Pakar geopolitik menilai bahwa keputusan Ukraina dalam kasus ini bisa berdampak jangka panjang terhadap posisinya di kancah global.