Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai bahwa penurunan impor mencerminkan daya beli masyarakat yang semakin melemah.
Penurunan permintaan domestik menyebabkan harga barang turun di pasaran.
Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), juga menyampaikan pendapat serupa.
Menurutnya, penurunan impor barang konsumsi menandakan turunnya daya beli masyarakat Indonesia.
Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, yang berdampak langsung pada pendapatan rumah tangga.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa deflasi yang terjadi bukanlah tanda krisis ekonomi.
Menurutnya, penurunan harga barang lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah, seperti penurunan tarif listrik dan pajak tiket pesawat, yang bertujuan meringankan beban masyarakat.
Sri Mulyani juga menyoroti pertumbuhan positif di sektor industri, terutama tekstil dan alas kaki. Sepanjang 2024, sektor tekstil tumbuh 4,3%, sementara industri alas kaki mengalami kenaikan hingga 6,8%.
Bahkan, ekspor alas kaki Indonesia mencatat pertumbuhan dua digit pada awal 2025.
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan bahwa mayoritas ahli ekonomi menilai kondisi ekonomi saat ini lebih buruk dibandingkan tiga bulan lalu.
Namun, mereka tetap optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan mengalami kontraksi signifikan.
Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun, menyatakan bahwa meskipun ada sentimen negatif terhadap perekonomian, fundamental ekonomi Indonesia tetap dalam kondisi baik.
Ia berharap bahwa dengan sinergi kebijakan fiskal dan moneter, Indonesia dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
Misbakhun juga menyoroti pentingnya penciptaan lapangan kerja agar Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina, yang saat ini mencatat pertumbuhan ekonomi pesat.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 7%-8% pada era Soeharto, dan perlu mempertahankan tren positif tersebut untuk memperluas lapangan kerja.