Radarlambar.bacakoran.co – Deretan nama besar kembali terseret dalam pusaran kasus korupsi yang menyeret kerugian negara nyaris mencapai Rp 170 miliar. Kali ini, giliran empat pejabat dan rekanan PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) yang duduk di kursi terdakwa.
Sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/4/2025), menjadi momen penting dalam proses hukum kasus yang berlangsung sejak 2018 itu. Keempat terdakwa adalah Alfian Rivai (Direktur PT Kalimantan Sumber Energi), Adi Kusumawijaya (eks Kepala Bagian Pemasaran Askrindo Cabang Kemayoran), Dwi Agus Sumarsono (eks Direktur Marketing Komersial Askrindo 2018–2020), dan Agus Hartana (eks Pimpinan Askrindo KCU Kemayoran 2018–2019).
Jaksa menilai keempatnya terbukti terlibat dalam skema korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 169,9 miliar. Mereka dinilai melakukan rekayasa kerja sama fiktif dan manipulasi dana, yang memperkaya diri sendiri maupun korporasi.
Untuk perannya masing-masing, jaksa menjatuhkan tuntutan berbeda. Agus Hartana dan Adi Kusumawijaya dituntut hukuman 10 tahun penjara, denda Rp 750 juta, serta pengembalian uang pengganti sebesar Rp 200 juta untuk Adi. Bila tidak dibayarkan, keduanya terancam tambahan kurungan mulai dari 6 bulan hingga 2 tahun.
Lebih berat lagi tuntutan yang diarahkan kepada Alfian Rivai dan Dwi Agus Sumarsono. Keduanya didorong untuk mendekam di balik jeruji selama 12 tahun. Tak hanya itu, Alfian diminta mengembalikan uang negara senilai lebih dari Rp 169 miliar, sementara Dwi Agus dikenai kewajiban pengganti sebesar Rp 600 juta. Jika tak sanggup membayar, harta mereka akan disita dan dilelang, serta digantikan dengan pidana penjara tambahan—masing-masing hingga 6 dan 3 tahun.
Keempatnya dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi yang diperkuat dengan pasal-pasal pidana umum terkait perbuatan berkelanjutan secara bersama-sama.
Kasus ini mencuat dari periode 5 September 2018 hingga 27 Januari 2020 di kantor pusat Askrindo, Kemayoran, Jakarta. Dalam kurun itu, para terdakwa diduga secara sistematis menyusun skema penyalahgunaan wewenang dan penggelapan dana yang seharusnya digunakan untuk program asuransi kredit.
Dari dokumen dakwaan yang dibacakan sebelumnya, pola yang digunakan oleh para terdakwa tidak hanya menyalahgunakan jabatan, namun juga menyelubungi transaksi fiktif melalui perusahaan pihak ketiga. Alur dana mengalir, tapi proyek dan pekerjaan tidak pernah ada.
Kini, palu tuntutan sudah diketok. Tinggal menunggu sidang putusan yang akan menjadi penentu: apakah hukum mampu menjangkau keadilan dalam kasus korupsi yang merusak sistem dari dalam ini, atau justru menjadi babak baru tarik-ulur kepercayaan publik pada lembaga hukum dan BUMN. (*/rinto)