Radarlambar.bacakoran.co– Komisi XI DPR RI mengungkapkan bahwa seharusnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 bisa berada dalam posisi surplus tanpa harus menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) atau instrumen utang lainnya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa Indonesia memiliki ruang cukup besar untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama dari sektor pajak, jika dikelola secara optimal dalam jangka panjang.
Isu ini mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi XI dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (7/5). DPR mengkritisi lemahnya kinerja perpajakan pemerintah terutama untuk menjaga konsistensi rasio pajak atau tax ratio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang justru menunjukkan stagnasi dalam dua dekade terakhir.
Padahal, secara teoritis, pertumbuhan ekonomi nasional yang terus meningkat seharusnya mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak. Namun yang terjadi, tax ratio justru menurun dari posisi tertingginya pada 2005 yang mencapai 12,7 persen, menjadi hanya sekitar 8 persen pada 2024, berdasarkan perhitungan DPR.
Pemerintah sempat melaporkan bahwa tax ratio Indonesia mencapai 10,07 persen akan tetapi DPR menilai angka tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan realitas fiskal. Perbandingan antara penerimaan pajak riil dan total PDB justru menunjukkan bahwa porsi kontribusi pajak belum mengalami perbaikan signifikan sejak dua tahun terakhir.
Dengan mengacu pada nilai PDB Indonesia yang berada di kisaran Rp22 ribu triliun pada 2024 DPR menghitung bahwa jika tax ratio dapat mencapai 16,75 persen, maka potensi penerimaan negara dari sektor pajak bisa mencapai sekitar Rp3.500 triliun. Bila ditambah dengan PNBP potensi total pendapatan negara dapat menembus angka Rp4.000 triliun. Angka ini jauh melebihi belanja negara yang direncanakan dalam APBN 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun.
Kondisi tersebut, menurut DPR, menggambarkan adanya peluang besar untuk mewujudkan APBN yang seimbang, bahkan surplus, tanpa perlu bergantung pada pembiayaan dari utang. Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah tetap memilih jalan penerbitan SBN untuk menutup defisit fiskal yang seharusnya bisa dihindari.
Masalah mendasar yang disorot DPR adalah lemahnya kapasitas pemerintah dalam menggali potensi penerimaan pajak yang sebenarnya tersedia. Berbagai regulasi dan dukungan politik telah diberikan kepada otoritas pajak, termasuk akses terhadap data keuangan, informasi lintas negara, hingga instrumen digitalisasi administrasi perpajakan. Namun demikian, belum ada lompatan signifikan dalam mengatasi celah penerimaan atau tax gap yang terus membesar.
DPR memandang bahwa kegagalan meningkatkan tax ratio mencerminkan persoalan yang bersifat struktural. Di satu sisi, perekonomian Indonesia terus tumbuh dan menciptakan nilai tambah, tetapi di sisi lain, otoritas fiskal belum mampu mengonversi pertumbuhan tersebut menjadi sumber penerimaan yang memadai. Hal ini menyebabkan ketergantungan anggaran negara pada utang tetap tinggi, padahal risiko fiskal jangka panjang semakin besar.
Direktorat Jenderal Pajak, di sisi lain, mengakui bahwa peningkatan tax ratio membutuhkan sinergi lebih luas di luar institusi perpajakan. Perlu ada pemetaan yang lebih terarah terhadap sektor-sektor yang belum tergarap maksimal dalam sistem perpajakan nasional. Pendekatan berbasis sektoral juga diperlukan untuk memperluas basis pajak dan mengidentifikasi potensi baru yang selama ini belum tergarap karena keterbatasan regulasi atau pengawasan.
Persoalan lain yang turut menjadi perhatian adalah munculnya praktik penghindaran pajak dan celah-celah kepatuhan yang sulit dijangkau oleh pengawasan reguler. Kondisi ini kerap diperparah oleh minimnya kolaborasi antara pusat dan daerah dalam menyinkronkan data ekonomi riil yang bisa dijadikan acuan perpajakan yang lebih akurat dan adil.
Dengan semua tantangan ini, DPR mendesak pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh strategi fiskal jangka menengah dan panjang. Kebijakan pengelolaan anggaran negara tidak seharusnya bergantung pada solusi jangka pendek seperti penerbitan utang, melainkan diarahkan pada upaya peningkatan kualitas belanja dan pendapatan negara secara struktural.
Langkah ini penting agar Indonesia dapat keluar dari siklus defisit tahunan yang hanya memperbesar beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang di masa depan. Tanpa perubahan mendasar, Indonesia berisiko kehilangan momentum dalam mewujudkan kemandirian fiskal dan memperkuat daya tahan ekonomi nasional terhadap tekanan global.*