Menteri Berganti, Nasib Riset di Indonesia Masih Abu-abu

Senin 12 May 2025 - 17:52 WIB
Reporter : Rinto Arius

Radarlambar.bacakoran.co.id - Pergantian posisi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membuka kembali pertanyaan tentang masa depan riset di Indonesia.

Sebelum menduduki jabatan tersebut, Satryo Soemantri telah beberapa kali menjalin komunikasi dengan Prabowo, baik sebelum maupun sesudah resmi terpilih sebagai presiden. Dengan latar belakang sebagai Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan pengalaman birokrasi di bidang sains dan pendidikan tinggi, Satryo dinilai memiliki kapasitas teknis dan akademik yang mumpuni.

Dalam berbagai kesempatan sebelum menjabat, Satryo menyoroti bahwa riset di Indonesia masih menghadapi persoalan klasik, seperti minimnya pendanaan dan belum terbentuknya ekosistem riset yang mendukung. Ia menekankan pentingnya riset dasar dan menyatakan kesiapannya memperjuangkan dukungan anggaran, jika mendapatkan kepercayaan sebagai pemimpin kementerian. Presiden Prabowo sempat disebut akan memberikan diskresi khusus dalam kebijakan riset, mencakup pendanaan dan regulasi.

Namun, harapan tersebut belum terwujud. Bukannya memberikan porsi lebih besar pada riset, pemerintah justru memotong anggaran riset sebesar Rp14,3 triliun dari total Rp56,6 triliun, seiring dengan pengetatan anggaran di hampir semua kementerian dan lembaga. Kebijakan ini menunjukkan bahwa riset belum dianggap prioritas dalam pembangunan nasional, dan mudah dikompromikan ketika pemerintah perlu melakukan efisiensi.

Situasi menjadi makin rumit ketika Satryo harus meletakkan jabatannya kurang dari empat bulan setelah menjabat. Keputusan itu dipicu oleh beberapa insiden internal, termasuk perilaku yang dianggap tidak pantas kepada pegawai kementerian. Dengan masa jabatan yang sangat singkat, praktis tidak ada kebijakan substantif yang bisa dikenang dari kepemimpinannya.

Pengganti Satryo, Brian Yuliarto, adalah akademisi muda dan peneliti berbakat di bidang nanoteknologi dan biosensor. Meski terpaut hampir dua dekade usia dengan pendahulunya, Brian yang juga alumni ITB dipercaya Presiden untuk meneruskan kepemimpinan di kementerian yang krusial ini.

Brian mengusung delapan bidang fokus utama dalam riset nasional, yakni: pangan, energi terbarukan, kesehatan (termasuk pengembangan obat), transportasi, rekayasa keteknikan, pertahanan keamanan, kemaritiman, serta sosial humaniora, pendidikan, seni, dan budaya. Namun, sejauh ini belum terlihat strategi atau narasi kuat dari kementerian mengenai bagaimana prioritas tersebut akan diimplementasikan secara nyata.

Sementara pemerintah terus membanggakan potensi Indonesia menjadi "macan Asia", serta berjanji meningkatkan anggaran riset hingga 2 persen dari PDB dalam lima tahun ke depan, justru terjadi pemotongan anggaran yang signifikan—tidak hanya untuk riset, tetapi juga untuk program-program seperti makan bergizi gratis dan proyek Danantara.

Menjalankan delapan fokus riset sekaligus dengan anggaran terbatas merupakan tantangan besar. Negara tetangga seperti Malaysia, misalnya, memilih langsung memusatkan perhatian pada sektor seperti kecerdasan buatan, keamanan siber, dan semikonduktor sebagai bagian dari upaya membangun ekonomi digital pada 2025. Singapura, di sisi lain, tetap menjaga daya saing globalnya dengan fokus pada manufaktur tingkat lanjut dan rekayasa teknologi mutakhir.

Dari sisi pendanaan, baik Malaysia maupun Singapura juga memperlihatkan kemajuan yang signifikan dalam diversifikasi sumber. Malaysia kini mendapatkan sekitar 40 persen dana riset dari sektor swasta, dan bertekad meningkatkan kontribusi industri hingga 70 persen dalam lima tahun. Singapura bahkan telah melewati titik itu, dengan lebih dari 60 persen dana riset berasal dari swasta.

Indonesia sendiri masih tertinggal jauh, dengan kontribusi swasta hanya sekitar 20 persen. Namun angka ini sebenarnya bisa menjadi peluang besar di tengah tekanan anggaran negara, asalkan ada kemauan politik dan regulasi yang memadai untuk mendorong keterlibatan dunia industri.

Pertanyaannya, apakah langkah-langkah strategis untuk menumbuhkan pendanaan alternatif dan memperkuat arah riset nasional sudah masuk dalam perencanaan kementerian? Hingga kini, belum ada penjelasan resmi atau rencana aksi konkret yang disampaikan ke publik. Justru, isu-isu lama seperti macetnya tunjangan dosen sejak 2020 masih membayangi kinerja kementerian. (*/rinto)

Kategori :