BALIKBUKIT - Tim dari Balai Besar TNBBS, TNI, Polri, BKSDA, WCS, serta suport dari Dirjen Gakkum Wilayah Sumatera, serta pihak yang terlibat lainnya tergabung Tim Penanganan Interaksi Negatif Satwa Liar dengan Manusia, terus melakukan upaya-upayan evakuasi terhadap harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang telah menyerang dua orang warga Kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS) hingga meninggal.
Kepala Satuan (Kasat) Polisi Kehutanan (Polhut) BB-TNBBS Sadatin Misri, S.H, M.H., dikonfirmasi mengungkapkan, pada Minggu 25 Februari 2024 pihaknya membagi empat tim, tim pertama, kedua dan ketiga bertugas untuk mencari jeja-jejak kucing besar yang dikenal sebagai si Raja Hutan tersebut. Sementara tim keempat, difokuskan pada monitoring kandang jebak yang terpasang.
Dikatakan Sadatin, dalam patroli yang dilaksanakan menemukan adanya tanda baru berupa jejak kaki harimau di Talang Sari, namun tim kehilangan jejak. ”Tim satu yang ditugaskan mencari tanda-tanda berupa jejak, tetapi karena arah jejak mengarah ke belukar, sehingga tim satu kehilangan jejak hingga patroli mencari tanda-tanda diakhiri karena kondisi cuaca,” ungkapnya Senin 26 Februari 2024.
Selanjutnya, berdasarkan hasil evaluasi maka proses pencairan tanda-tanda dilanjutkan pada Senin 26 Februari 2024. Pihaknya membentuk tiga tim, tim satu dan tim dua ditugaskan untuk berpatroli mencari tanda-tanda, selanjutnya tim tiga kembali difokuskan memonitoring kandang jebak.
”Karena terkendala hujan dan efektifitas waktu maka petugas akan menginap di Talang yang masih ada orangnya, sehingga besok pencarian tanda-tanda akan bisa kembali dilanjutkan,” kata dia menambahkan.
Menurutnya, jejak kaki yang ditemukan oleh petugas, itu hampir sama dengan jejak kaki yang ditemukan di lokasi meningalnya Sahri warga Pekon Bumi Hantatai Kecamatan BNS. ”Kalau melihat ukuran dari jejak kaki yang ditemukan itu sama, sehingga dimungkinkan jejak kaki yang ditemukan di Talang Sari itu satu dengan yang menyerang warga beberapa waktu lalu,” tandasnya.
Lebih lanjut Sadatin mengungkapkan, terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar harimau di Suoh dan BNS Lampung Barat ini karena perburuan mangsa harimau dan pembukaan lahan di kawasan hutan. semenjak kasus satwa yang terkena jerat pada 3 Juli 2019, pihaknya intens melakukan patroli perlindungan satwa.
Menurut Sadatin, hampir tiap melakukan patroli pasti mendapatkan alat jerat baik berupa tambang, nilon untuk satwa mangsanya. Hal itu berkaitan kenapa satwa harimau bisa berburu sampai keluar karena jumlah populasi mangsanya yang berkurang.
“Kita hubungkan dengan hasil-hasil yang kita dapatkan di lapangan saat patroli terkait jerat yang masih banyak. Ini memang perlu edukasi ke masyarakat. Ini menjadi evaluasi bagi kita semua, kenapa ini bisa terjadi ya banyak faktor,” sambungnya.
Selanjutnya, aktivitas pembukaan lahan yang dilakukan manusia juga bisa menjadi salah satu faktor kanflik ini bisa terjadi.
“Karena sudah ada aktivitas dengan manusia, ya mungkin dia sudah berubah perilakunya, selama ini di alam bebas dia masih sering berhubungan dengan satwa mangsanya. Tapi dengan adanya bukaan lahan, aktivitas manusia masih ada di situ, tentunya karena hal itu dia bisa berubah tingkah lakunya,” tutupnya.
Untuk diketahui, Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang merupakan satwa endemik yang mendiami TNBBS kembali menerkam warga. Terakhir Sahri bin Saprak (28) warga Pekon Bumi Hantatai Kecamatan BNS menjadi korban ditemukan meninggal dengan kondisi mengenaskan.
Korban diterkam harimau saat melakukan aktifitas di kebun, sekitar menjelang dzuhur pada Rabu 21 Februari 2024, dan baru ditemukan sekitar pukul 02.00 WIB dini hari pada Kamis 22 Februari 2024.
Sebelumnya, Gunarso (47) warga Pemangku Sumber Agung II, Pekon Sumber Agung, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat ditemukan tak bernyawa dengan kondisi mengenaskan, pada Kamis malam 9 Februari 2024.
Gunarso diduga kuat meninggal usai diterkam harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Usai ditemukan korban langsung dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) setempat. (*)