Puasa-Lebaran Diprediksi Tak Mampu Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Inilah Durasi Puasa Berdasarkan Lokasi Geografis. -Foto Dok---
Radarlambar.bacakoran.co - Ekonomi Indonesia tercatat tumbuh positif pada kuartal IV 2024 dengan angka pertumbuhan tahunan (YoY) sebesar 5,02%, meskipun di tengah tantangan ekonomi global yang semakin melambat.
Angka ini menunjukkan ketahanan ekonomi domestik yang relatif kuat, meskipun ada berbagai ketidakpastian. Pertumbuhan ini juga tercermin dari data pertumbuhan ekonomi triwulan keempat yang naik 0,53% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Q-to-Q).
Dengan angka yang cukup positif pada akhir 2024, perhatian kini tertuju pada potensi ekonomi Indonesia untuk terus berkembang pada kuartal pertama 2025, yang akan bertepatan dengan momen Ramadan dan Idul Fitri.
Harapan besar sering kali muncul menjelang dua momen besar tersebut, yang dianggap mampu mendorong konsumsi masyarakat secara signifikan. Namun, para ekonom memperkirakan bahwa dampak dari momen tersebut tidak akan sebesar yang diharapkan.
Bhima Yudhistira, seorang ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, menyatakan bahwa meski Ramadan dan Idul Fitri biasanya mampu mendorong aktivitas konsumsi masyarakat, hal tersebut tidak cukup untuk mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Menurutnya, prospek pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2025 diperkirakan akan cenderung rendah. Meskipun ada Ramadan dan Lebaran, saya rasa sulit bagi ekonomi Indonesia untuk mencapai angka pertumbuhan sebesar 5 persen, ujarnya.
Salah satu faktor yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi tersebut adalah masih tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor-sektor padat karya. Sektor-sektor ini, seperti tekstil dan manufaktur, yang umumnya memberikan lapangan kerja bagi banyak orang, kini menghadapi tantangan besar, yang berpotensi mengurangi daya beli masyarakat. Selain itu, sektor hilirisasi industri juga sedang menghadapi kendala produksi yang menghambat pertumbuhan output.
Di sisi lain, Bhima juga menyoroti adanya faktor lain yang dapat memperlambat konsumsi masyarakat, terutama di sektor-sektor yang terkait langsung dengan kegiatan Ramadan dan Idul Fitri, seperti restoran, perhotelan, dan sektor transportasi. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan efisiensi belanja pemerintah yang berdampak pada pendapatan masyarakat. Kebijakan ini menambah ketidakpastian, dengan beberapa kalangan yang memilih untuk menahan pengeluaran mereka selama periode tersebut. Efeknya, konsumsi rumah tangga cenderung melambat, imbuh Bhima.
Faktor eksternal juga tidak kalah penting dalam mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, penghapusan insentif diskon listrik yang berakhir pada Februari 2025 berpotensi membuat masyarakat lebih cenderung menabung daripada menghabiskan uang mereka. Hal ini berpengaruh pada pola konsumsi masyarakat yang cenderung menurun.
Selain itu, situasi eksternal terkait dengan kinerja ekspor juga turut memperburuk keadaan. Terjadinya ketegangan perdagangan global dan ketidakpastian ekonomi di negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, turut memberikan dampak negatif pada perekonomian Indonesia. Dengan adanya perang dagang yang belum reda, masyarakat cenderung lebih memilih untuk menahan pengeluaran mereka dan lebih fokus pada menabung, terang Bhima.
Sebelumnya, anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri juga menyoroti sejumlah faktor yang mengancam perekonomian global, termasuk Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, yang berdampak besar terhadap perekonomian global. Chatib menilai bahwa kebijakan tarif yang diterapkan Trump pada berbagai produk impor telah mempengaruhi banyak sektor, termasuk industri manufaktur AS yang bergantung pada bahan baku impor.
Chatib menjelaskan bahwa penerapan tarif yang tinggi pada produk impor akan meningkatkan biaya produksi di AS. Jika tarif impor dinaikkan, biaya produksi akan meningkat, yang pada akhirnya berujung pada inflasi yang lebih tinggi, ungkapnya. Inflasi yang tinggi ini, kata Chatib, menjadi tantangan bagi Bank Sentral AS (The Federal Reserve) yang kesulitan menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, kebijakan pemotongan pajak besar-besaran yang diterapkan Trump juga berdampak pada meningkatnya defisit anggaran AS. Untuk menutupi defisit tersebut, pemerintah AS terpaksa menerbitkan lebih banyak obligasi, yang pada gilirannya meningkatkan imbal hasil obligasi dan membuat suku bunga tetap tinggi. Hal ini semakin mempersulit upaya pemulihan ekonomi global.
Salah satu kebijakan kontroversial lainnya adalah pengurangan jumlah pekerja imigran melalui deportasi. Banyak industri di AS yang bergantung pada tenaga kerja tidak berdokumen (undocumented workers) yang umumnya bekerja pada sektor-sektor dengan upah rendah. Ketika pekerja ini dideportasi, industri harus mencari pengganti dengan upah yang lebih tinggi, yang pada akhirnya akan meningkatkan inflasi.
Secara keseluruhan, meski ada harapan besar pada Ramadan dan Idul Fitri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, sejumlah faktor eksternal dan internal memberikan tantangan yang besar. Pelemahan sektor-sektor padat karya, kebijakan pemerintah yang menahan pengeluaran, serta ketidakpastian ekonomi global menjadi faktor utama yang diperkirakan akan memperlambat laju perekonomian Indonesia pada awal tahun 2025.(*/adi)