Tradisi Lebaran di Indonesia dan Pandangan Masa Kolonial

Menyambut Hari Raya Idul Fitri Masyarakat Indonesia Memiliki Tradisi. - Foto Freepik--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Saat menyambut Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Indonesia memiliki tradisi yang telah berlangsung sejak lama. Berbagai kebiasaan seperti membeli pakaian baru, melakukan perjalanan mudik, hingga menyajikan hidangan khas Lebaran menjadi bagian dari perayaan ini.

Tradisi ini telah ada sejak ratusan tahun lalu dan sempat menuai beragam tanggapan, terutama di masa kolonial Belanda.

Pada masa itu, beberapa pejabat kolonial, seperti Stienmetz dan De Wolff, mengkritisi cara masyarakat pribumi merayakan Lebaran.

Dalam catatan sejarah, mereka menyebutkan bahwa banyak pegawai pribumi menggelar pesta besar dengan dana hasil pinjaman.

Bahkan, ada juga bupati yang menggunakan kas pemerintah untuk perayaan Lebaran, yang dinilai sebagai bentuk pemborosan.

Sebagai respons terhadap hal ini, mereka mengusulkan larangan perayaan Lebaran dengan alasan penghematan kas negara.

Namun, Snouck Hurgronje, seorang penasihat pemerintah kolonial Belanda dalam urusan Islam, tidak setuju dengan larangan tersebut.

Menurutnya, membatasi perayaan Lebaran tidak serta-merta mengajarkan masyarakat untuk lebih berhemat.

Dalam pengamatannya sejak awal abad ke-20, Snouck melihat bahwa tradisi Lebaran sangat melekat di masyarakat Indonesia.

Di Aceh, misalnya, pembelian pakaian meningkat drastis menjelang Lebaran.

Bahkan, pasar yang menjual pakaian lebih ramai dibandingkan tempat penjualan bahan makanan.

Fenomena ini terjadi karena dalam budaya setempat, kasih sayang diukur dari pemberian hadiah seperti pakaian baru.

Selain di Aceh, tradisi serupa juga terlihat di Batavia (sekarang Jakarta).

Dalam laporannya kepada pemerintah kolonial, Snouck mencatat bahwa perayaan Lebaran melibatkan pesta, silaturahmi dengan kerabat, hingga belanja pakaian dan makanan dalam jumlah besar.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan