Yahya Sinwar: Bayangan yang Terus Membayangi Israel Meski Telah Tiada

Yahya Sinwar Bayangan yang Terus Membayangi Israel Meski Telah Tiada. Foto/Net-OPB--
Radarlambar.bacakoran.co -Meski telah berpulang pada 2024, nama Yahya Sinwar tetap menjadi sorotan para pengamat militer dan politik Israel. Sosoknya dianggap sebagai arsitek serangan paling mengejutkan dan menghancurkan yang pernah dialami Israel sejak negara itu berdiri. Sinwar bukan sekadar tokoh militan—ia dianggap sebagai otak di balik strategi perang asimetris yang membuat pasukan Israel kewalahan di jalur Gaza.
Serangan besar Hamas pada 7 Oktober menandai momen paling kelam dalam sejarah pertahanan Israel. Ketika pertahanan Israel runtuh oleh serangan terkoordinasi dan mematikan, tatanan keamanan nasional yang selama ini dianggap kokoh mendadak ambruk. Para pejabat militer tertinggi pun menjadi sasaran kritik, bahkan harus melepaskan jabatan mereka di tengah gelombang kemarahan publik dan elit politik.
Yang paling mengejutkan, pasukan Hamas, yang selama ini dipandang sebelah mata, ternyata mampu menunjukkan keunggulan dalam kecerdasan strategi dan taktik gerilya. Dengan persenjataan yang terbatas dan perlengkapan sederhana, mereka mampu menyusup ke medan perang melalui terowongan bawah tanah dan melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Israel. Keunggulan ini menempatkan Israel dalam posisi bertahan, bahkan ketika mengerahkan kendaraan lapis baja dan teknologi tempur tercanggih.
Di medan pertempuran, pasukan Israel menghadapi jebakan yang tidak mereka duga. Serangan-serangan Hamas dirancang dengan perhitungan matang—menunggu momen yang tepat ketika pasukan lawan lengah, lalu menyerang dengan tembakan anti-tank dan bahan peledak jarak jauh. Situasi ini tak hanya menimbulkan kerugian fisik, tetapi juga memukul moral pasukan secara signifikan.
Sementara pemerintah Israel terus memaksakan operasi militer yang melelahkan, di sisi lain, para prajurit menghadapi tekanan berat. Kelelahan mental dan fisik yang mereka alami telah menjadi perhatian lembaga rehabilitasi militer. Ribuan tentara kini sedang dalam perawatan, banyak di antaranya mengalami trauma psikologis berat yang muncul akibat intensitas perang berkepanjangan.
Kondisi ini diperparah oleh krisis tenaga kerja di tubuh militer. Kekurangan personel aktif dan cadangan telah mengancam keberlangsungan operasi jangka panjang. Bahkan analis keamanan menilai bahwa tanpa jeda tempur, kekuatan militer Israel bisa melemah secara drastis di tengah ancaman yang semakin besar, termasuk dari Iran.
Kini, tekanan publik mulai menguat. Keluarga para tentara dan sebagian masyarakat mempertanyakan tujuan dari konflik yang terus berlangsung, sementara tuntutan untuk menghentikan perang demi kemanusiaan dan stabilitas terus mengemuka. Di tengah kebuntuan diplomatik dan negosiasi yang belum membuahkan hasil, konflik di Gaza masih menjadi luka terbuka yang belum kunjung sembuh. (*)