Rencana Distribusi Bantuan Gaza oleh Israel-AS Tuai Kecaman Dunia: “Bukan Bantuan, Tapi Pengalihan”

Militer Israel masih terus melancarkan serangan di Jalur Gaza.//Foto: REUTERS.--

Radarlambar.bacakoran.co -Penolakan terhadap skema distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza yang diajukan Israel dan didukung Amerika Serikat terus bergema di panggung internasional. Dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada Selasa (13/5), sejumlah negara besar seperti Rusia, Tiongkok, dan Inggris menyuarakan ketidaksetujuan mereka secara terbuka, dengan alasan bahwa rencana tersebut justru memperburuk krisis kemanusiaan yang telah berlangsung lebih dari dua bulan.

Negara-Negara Besar Menolak
Perwakilan Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, menilai skema distribusi itu sebagai bentuk manipulasi politik yang membahayakan prinsip kemanusiaan. Ia menyatakan bahwa mekanisme tersebut tidak mendapat dukungan dari lembaga-lembaga kemanusiaan maupun Sekretariat PBB, dan justru berisiko menyeret badan-badan kemanusiaan ke dalam agenda militer Israel.

Sementara itu, utusan Tiongkok, Fu Cong, menyebut Gaza sebagai “neraka hidup”, mengutip laporan IPC yang menyatakan bahwa seluruh penduduk di wilayah tersebut kini mengalami kelaparan ekstrem. Inggris pun mengambil sikap serupa. Duta Besarnya untuk PBB, Barbara Woodward, menegaskan bahwa London menolak skema bantuan yang sarat kepentingan politik dan menyerukan agar Israel segera mengakhiri blokade yang telah membuat Gaza terisolasi sejak awal Maret.

PBB: Skema Bantuan Israel Cacat Moral dan Tidak Netral
Penilaian paling tajam datang dari Kepala Bantuan Kemanusiaan PBB, Tom Fletcher. Ia menyebut skema yang digagas Israel-AS sebagai “dalih untuk kekerasan” dan menyatakan bahwa tidak ada satu pun bantuan yang berhasil masuk Gaza sejak 2 Maret lalu.

PBB, kata Fletcher, telah melakukan lebih dari selusin pertemuan dengan pihak Israel untuk mencari solusi. Namun, seluruh upaya itu berakhir buntu. Ia menambahkan, “Ini bukan karena bantuan tidak tersedia, tapi karena akses secara sistematis ditolak. Ratusan ribu nyawa bisa diselamatkan jika akses diberikan.”

Dugaan Politisasi Bantuan
Skema yang diajukan Israel mencakup pendirian empat titik distribusi utama di wilayah selatan Gaza. Operasional titik ini rencananya dikelola oleh perusahaan swasta dan sebuah yayasan kemanusiaan baru yang belum memiliki rekam jejak. Target distribusi hanya mencakup 1,2 juta orang — atau sekitar 60 persen dari total penduduk Gaza.

Lembaga-lembaga kemanusiaan memandang rencana ini sebagai penggantian sistem distribusi PBB yang selama ini mengoperasikan lebih dari 400 titik distribusi berdasarkan prinsip netralitas. Mereka khawatir skema baru ini tidak hanya mempersempit jangkauan bantuan, tetapi juga bisa digunakan sebagai alat tekanan militer dan politik, termasuk memaksa perpindahan paksa warga dari Gaza utara ke selatan.

Seorang pejabat kemanusiaan yang berbicara kepada media internasional menggambarkan situasi ini sebagai lebih dari sekadar logistik. “Ini bukan soal seberapa cepat makanan sampai. Ini soal siapa yang diizinkan menerima bantuan, dan siapa yang sengaja dibiarkan kelaparan.”

Tuduhan dan Bantahan
Israel menuduh kelompok Hamas telah mencuri bantuan kemanusiaan dan menegaskan bahwa distribusi hanya akan dibuka jika semua sandera dibebaskan. Hamas membantah tuduhan tersebut.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bahkan telah menolak skema ini sejak April lalu. Menurutnya, rencana tersebut terlalu membatasi dan bahkan menyarankan distribusi bantuan “hingga kalori terakhir” — sebuah pendekatan yang dinilai tidak manusiawi.

Upaya Diplomasi dan Ketegangan Berlanjut
Meski ada tekanan internasional yang terus meningkat, belum ada tanda-tanda signifikan bahwa Israel akan mengubah pendiriannya. Sementara itu, kondisi di Gaza kian memburuk. Gambar warga yang antre panjang demi seporsi makanan dari dapur amal di tengah reruntuhan menjadi gambaran nyata dari krisis kemanusiaan yang tak kunjung usai.

Dengan semakin luasnya penolakan terhadap skema ini di tingkat internasional, sorotan kini tertuju pada tekanan diplomatik yang mungkin bisa mengubah arah kebijakan Israel—dan menyelamatkan jutaan nyawa yang bergantung pada bantuan. (*)




Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan