Masa Kejayaan dan Kesatuan Kerajaan Sunda-Galuh

Masa Kejayaan dan Kesatuan Kerajaan Sunda-Galuh. Foto/net--

Radarlambar.bacakoran.co -Kerajaan Sunda dan Galuh merupakan dua entitas politik yang memiliki masa keberlangsungan panjang di Nusantara, bertahan dari masa akhir Sriwijaya hingga kedatangan Portugis di Asia Tenggara. Sebagai dua kerajaan yang berkerabat dan cenderung stabil secara politik, keduanya mengalami puncak kejayaan antara abad ke-14 hingga ke-16 Masehi. Masa kejayaan ini ditandai oleh kepemimpinan tokoh-tokoh penting seperti Niskala Wastu Kancana dan cucunya, Sri Baduga Maharaja.

Niskala Wastu Kancana naik takhta setelah sebuah peristiwa besar yang mengguncang tatanan kekuasaan. Ia berhasil memulihkan stabilitas politik dan membangun pusat pemerintahan di Kawali, wilayah yang kemudian dikenal sebagai Galuh Pakwan. Bukti peninggalan sejarah dari situs arkeologi di Ciamis menunjukkan bahwa raja ini berperan penting dalam memperkokoh kembali wibawa kerajaan.

Selanjutnya, masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja menjadi tonggak sejarah penting. Di bawah pemerintahannya, dua kerajaan besar—Sunda dan Galuh—yang telah lama terpisah, kembali bersatu. Ibukota kerajaan dipindahkan ke Pakwan Pajajaran, wilayah yang kini dikenal sebagai Bogor. Warisan pemerintahannya terekam dalam sejumlah prasasti penting yang ditemukan di berbagai daerah di Jawa Barat.

Hubungan Internasional dan Kedatangan Portugis
Pemerintahan Surawisesa, putra Sri Baduga Maharaja, berlangsung di tengah masa transisi penting. Pada saat itu, bangsa Portugis datang dan mendokumentasikan keadaan Kerajaan Sunda yang makmur dengan pelabuhan-pelabuhan yang ramai dan berkembang. Beberapa pelabuhan utama seperti Banten, Pontang, Cigede, Tangerang, Sunda Kelapa, dan Cimanuk tercatat sebagai pusat perdagangan yang aktif.

Namun, di balik kemegahan itu, ancaman mulai muncul dari kekuatan-kekuatan baru yang berkembang di wilayah pesisir utara Jawa. Gelombang kekuasaan Islam mulai mengambil alih jalur perdagangan dan pelabuhan penting, yang perlahan-lahan melemahkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di pedalaman.

Embargo Ekonomi dan Konflik Dagang
Perebutan dominasi atas jalur perdagangan menjadikan wilayah pesisir sebagai titik konflik utama. Penguasa-penguasa Islam di wilayah pesisir mulai mengambil langkah-langkah tegas, termasuk menghentikan aliran barang-barang penting seperti garam dan bumbu dapur ke wilayah kerajaan Sunda. Tindakan ini merupakan strategi embargo ekonomi yang efektif dalam melemahkan posisi kerajaan di pedalaman.

Pelabuhan Banten menjadi salah satu titik awal perubahan kekuasaan. Di bawah kendali tokoh Islam dari Cirebon, wilayah ini kemudian menjadi pelabuhan penting dalam jaringan perdagangan Islam, bersekutu dengan wilayah seperti Demak. Ketika akhirnya Sunda Kelapa jatuh ke tangan kekuatan baru, Kerajaan Sunda benar-benar kehilangan akses terhadap perdagangan luar negeri.

Kemunduran dan Keruntuhan Kerajaan Sunda
Meskipun tekanan ekonomi dan kekuatan politik dari luar turut berperan, faktor internal juga memiliki andil besar dalam keruntuhan Kerajaan Sunda. Setelah masa pemerintahan Surawisesa, muncul raja-raja yang dinilai tidak kompeten. Mereka lebih sibuk dengan urusan pribadi dan meninggalkan tanggung jawab pemerintahan.

Salah satu raja lebih mengutamakan kehidupan spiritual hingga mengabaikan situasi genting yang mengancam kerajaan. Penggantinya dikenal karena perilaku menyimpang dan hidup dalam kemewahan. Hal ini berlanjut hingga masa kepemimpinan berikutnya yang menyebabkan rakyat hidup dalam budaya konsumtif. Ketika kekuatan dari luar akhirnya menyerang, kerajaan dalam kondisi tidak siap dan dengan mudah dikalahkan.

Keruntuhan Kerajaan Sunda pada akhirnya tidak hanya disebabkan oleh tekanan eksternal seperti embargo ekonomi atau invasi militer, tetapi juga karena lemahnya struktur pemerintahan dan buruknya kualitas kepemimpinan pada masa-masa akhir. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan