Leendert Hasenbosch: Jejak Kelam Pengasingan dan Penghapusan Identitas LGBTQ+ dalam Sejarah

Leendert Hasenbosch Jejak Kelam Pengasingan dan Penghapusan Identitas LGBTQ+ dalam Sejarah. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Hingga saat ini, 64 negara di dunia masih memberlakukan kriminalisasi terhadap hubungan sesama jenis, dengan hukuman yang bervariasi dari kurungan hingga hukuman mati. Namun, sejarah mencatat bahwa kekerasan terhadap kaum LGBTQ+ di masa lalu bahkan jauh lebih brutal dan kejam.
Salah satu kisah memilukan berasal dari abad ke-18, ketika seorang pria Belanda bernama Leendert Hasenbosch mengalami nasib tragis akibat tuduhan melakukan hubungan sesama jenis. Ia diasingkan secara paksa ke sebuah pulau terpencil di tengah Samudra Atlantik, yang kemudian menjadi bab terakhir hidupnya—terlupakan selama hampir tiga abad, hingga akhirnya ditemukan kembali oleh para sejarawan.
Terdampar karena Tuduhan
Leendert Hasenbosch dilahirkan sekitar tahun 1695 di Den Haag, dan tumbuh sebagai anak tunggal dari keluarga kelas menengah. Setelah ibunya meninggal, keluarganya pindah ke Batavia—kini Jakarta—di mana ia kemudian bergabung dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada usia 18 tahun.
Kariernya di VOC membawanya ke berbagai pos di Asia, termasuk di Batavia dan Cochin (India). Di tengah pelayarannya kembali ke Belanda pada tahun 1724, Hasenbosch tiba-tiba dituduh melakukan tindakan yang kala itu dianggap kejahatan berat: sodomi. Bukannya dihukum mati seperti lazimnya, ia justru dijatuhi hukuman pengasingan. Pada 5 Mei 1725, Hasenbosch ditinggalkan sendirian di Pulau Ascension dengan perlengkapan minim: tenda, Alkitab, beberapa benih, dan satu tong air.
Pulau Ascension, yang terletak ribuan kilometer dari benua mana pun, menjadi penjara alam yang sunyi dan kejam. Dalam kondisi terisolasi tanpa akses terhadap air bersih atau makanan yang memadai, Hasenbosch mencatat hari-harinya dalam sebuah buku harian. Ia mencoba bertahan hidup dengan menangkap kura-kura dan bahkan meminum darah hewan tersebut serta air kencingnya sendiri. Tanaman yang ia tanam gagal tumbuh, dan rasa kesepian yang mendalam menghantui pikirannya.
Lenyap dari Sejarah
Beberapa bulan kemudian, pelaut Inggris menemukan tempat tinggal Hasenbosch yang sudah kosong. Di sana hanya tersisa buku hariannya, yang kemudian dibawa ke Inggris dan diterbitkan dengan judul sensasional. Namun, dalam proses penerbitannya, identitas Hasenbosch sengaja dihapus, menjadikannya sosok tanpa nama dalam catatan sejarah.
Butuh hampir 200 tahun sebelum jejaknya kembali ditemukan. Sejarawan Belanda Michiel Koolbergen menemukan sebuah buku edisi lama di museum yang mengisahkan seorang pelaut yang diasingkan karena tuduhan sodomi. Penelusurannya ke arsip VOC akhirnya mengungkap nama asli korban: Leendert Hasenbosch. Temuannya kemudian dikembangkan oleh sejarawan lain, Alex Ritsema, yang menerbitkan ulang kisah ini dalam versi bahasa Inggris.
Ironisnya, baik Koolbergen maupun Ritsema sama-sama meninggal akibat kanker sebelum karya mereka benar-benar dikenal luas. Namun keduanya kini dikenang sebagai sosok yang berjasa mengangkat kembali kisah yang sempat dilenyapkan dari ingatan kolektif sejarah.
Refleksi Kekuasaan dan Diskriminasi
Kisah Hasenbosch bukan hanya soal pengasingan fisik, tapi juga penghapusan identitas. Ia menjadi simbol bagaimana kekuasaan menggunakan hukum dan norma sosial untuk menghapus eksistensi kelompok tertentu, dalam hal ini komunitas LGBTQ+. Di masa Hasenbosch, tuduhan sodomi menjadi alat pelampiasan terhadap kegelisahan sosial-politik. Para sejarawan menyebut bahwa Belanda saat itu tengah mengalami krisis maskulinitas pasca kekalahan militer, dan kaum homoseksual dijadikan kambing hitam.
Fenomena ini ternyata tak sepenuhnya hilang. Di masa kini, sejumlah negara seperti Rusia, Polandia, dan Uganda terus menggulirkan kebijakan yang mendiskriminasi kaum LGBTQ+, sering kali dengan dalih melindungi nilai-nilai tradisional. Di Amerika Serikat, perubahan politik juga kerap mempengaruhi hak-hak kaum minoritas seksual. Perintah eksekutif yang mencabut perlindungan atas identitas gender dan orientasi seksual menandai kemunduran dalam perjuangan kesetaraan.
Menurut pengamat hak asasi manusia, kebijakan semacam itu bukan hanya menciptakan penderitaan nyata, tetapi juga berkontribusi pada penghapusan sejarah LGBTQ+—menghapus mereka dari narasi masyarakat yang "terhormat". Namun, seperti disampaikan oleh para aktivis, keberadaan komunitas LGBTQ+ tak bisa dihapus begitu saja. Mereka telah ada sejak dulu dan akan terus ada.
Warisan dan Peringatan
Kini, Leendert Hasenbosch tak lagi sekadar sosok anonim dalam catatan kolonial. Ia adalah wajah nyata dari korban sistem yang menolak keberagaman dan menindas perbedaan. Melalui kisahnya, kita diingatkan bahwa perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia bukan sekadar isu masa lalu, melainkan tantangan yang terus berulang hingga hari ini. (*)