Luas Rumah Subsidi Dikecilkan, Pemerintah Tuai Sorotan

Program Rumah Subsidi Solusi Untuk Warga Berpenghasilan Rendah. - Foto Freepik--
Radarlambar.bacakoran.co - Rencana pemerintah untuk merevisi aturan luas minimal rumah subsidi memantik perdebatan publik. Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) tengah menyiapkan Keputusan Menteri (Kepmen) baru yang mengatur ulang batasan luas tanah, luas lantai, hingga harga jual rumah yang dibiayai melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Namun, draf kebijakan tersebut justru memunculkan kekhawatiran. Salah satu poin paling disorot adalah penyusutan signifikan pada batas minimal luas rumah subsidi. Dari yang sebelumnya ditetapkan 60 meter persegi untuk tanah dan 21 meter persegi untuk bangunan, kini diusulkan menjadi hanya 25 meter persegi untuk tanah dan 18 meter persegi untuk bangunan.
Langkah ini diklaim bertujuan menjawab kenaikan harga material dan keterbatasan lahan, sekaligus memungkinkan lebih banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memperoleh hunian. Namun, di media sosial, rencana tersebut memicu gelombang kritik. Sebagian warganet menyindir ukuran rumah subsidi yang dianggap terlalu sempit dan tidak manusiawi untuk dihuni dalam jangka panjang.
Inspirasi dari Proyek Swasta
Di tengah pembahasan aturan baru, Menteri PKP Maruarar Sirait sebelumnya sempat meninjau rumah contoh di kawasan XYZ Livin, milik Lippo Group, di Tangerang. Hunian yang ditawarkan di proyek itu mengusung konsep rumah kompak dengan luasan mulai dari 3,3 x 9,5 meter persegi.
Desain yang efisien tersebut sempat diungkapkan sebagai inspirasi yang ingin diadopsi pemerintah untuk pengembangan rumah bagi MBR. Dalam sebuah kesempatan, Maruarar bahkan memberikan ruang kepada pihak swasta untuk mempresentasikan konsep tersebut dalam forum bersama pejabat lintas sektor dan sejumlah pengembang nasional.
Menabrak Standar Kelayakan?
Meski dinilai inovatif dalam efisiensi lahan, usulan pengurangan luas rumah subsidi dinilai berisiko menabrak standar kelayakan yang berlaku secara nasional dan internasional. Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto mengingatkan bahwa menurut acuan WHO, luas hunian ideal adalah 10–12 meter persegi per jiwa. Sedangkan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), minimum adalah 9 meter persegi per jiwa.
Dengan demikian, rumah subsidi seluas 18 meter persegi dianggap hanya layak dihuni oleh dua orang. Padahal dalam banyak kasus, rumah subsidi dibeli untuk ditinggali keluarga muda yang umumnya memiliki dua hingga tiga anak.
Di kota-kota besar, tekanan harga tanah memang menjadi tantangan utama. Namun demikian, Joko menekankan pentingnya menjaga kelayakan tempat tinggal, agar program subsidi tidak hanya terjangkau secara harga, tetapi juga bermakna secara kualitas hidup.
Risiko Kekumuhan dan Rumah Tak Layak
Kekhawatiran lebih tajam datang dari kalangan pengembang. Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengingatkan bahwa rumah dengan luas terlalu kecil berpotensi memunculkan dampak sosial yang serius.
Bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga potensi timbulnya kawasan padat yang tidak sehat dan tidak berkembang. Dalam pandangannya, rumah subsidi seharusnya menjadi hunian jangka panjang, bukan tempat singgah sementara. Ukuran yang terlalu kecil akan membatasi ruang tumbuh keluarga dan membuat pemilik kesulitan melakukan renovasi atau penyesuaian di masa depan.
Junaidi menilai bahwa rencana revisi aturan ini mungkin lebih relevan jika diterapkan secara selektif, misalnya hanya di kota-kota besar yang benar-benar kekurangan lahan. Di wilayah lain, ia menyarankan agar tetap mengacu pada ketentuan sebelumnya yang memberi ruang lebih layak bagi warga.
Menanti Kepastian Regulasi
Hingga kini, Kepmen PKP yang dimaksud belum resmi diterbitkan. Namun perdebatan yang muncul menunjukkan bahwa isu ini menyentuh aspek krusial: antara efisiensi pembangunan dan kelayakan tempat tinggal.
Program rumah subsidi seharusnya tidak hanya mengejar kuantitas, tetapi juga memastikan bahwa rumah tersebut bisa menjadi tempat hidup yang layak, sehat, dan bermartabat bagi seluruh keluarga penerima manfaat. (*)