Di Bawah Bayang Konflik Papua: Ketika Rumah Sakit Tak Lagi Netral

Ilustrasi KKB Papua. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Aroma disinfektan masih menyengat di koridor RSUD Wamena ketika suara tembakan pecah di malam yang seharusnya tenang. Rabu, 28 Mei 2025, menjadi malam yang tidak biasa bagi Wamena—sebuah kota kecil di jantung Papua yang selama ini menjadi medan benturan antara negara dan gerakan separatis.
Di depan rumah sakit yang seharusnya menjadi zona netral, dua aparat keamanan menjadi sasaran tembakan. Satu di antaranya tewas. Klaim jumlah korban berbeda-beda tergantung siapa yang memberikan keterangan, tetapi fakta darah yang tertumpah menunjukkan sebuah garis merah baru telah tergurat dalam sejarah konflik Papua yang panjang.
Pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengakui tindakan tersebut melanggar hukum humaniter internasional, yang mengatur rumah sakit sebagai wilayah netral yang tidak boleh menjadi sasaran. Namun, mereka memandang situasi di Papua sudah sangat keruh dan membingungkan, sehingga perbedaan antara sipil dan militer menjadi kabur. Di dalam kondisi tersebut, mereka memilih mempertahankan diri dengan cara apa pun, termasuk menyerang aparat di depan rumah sakit.
Lebih jauh, mereka menuduh sebagian tenaga kesehatan di rumah sakit Papua berperan sebagai anggota intelijen, yang diduga ikut campur dalam operasi militer. Tuduhan ini diperkuat dengan pernyataan Panglima TNI yang menyebut bahwa prajurit TNI juga bertugas sebagai tenaga medis dan guru di Papua, sehingga garis antara fungsi kemanusiaan dan militer menjadi samar.
Permasalahan lain yang diangkat adalah minimnya pemahaman terhadap hukum perang di kalangan milisi. Meski pernah mencetak dan membagikan ribuan buku panduan hukum humaniter internasional pada 2012, distribusi yang terbatas membuat banyak pejuang di pedalaman belum mengerti aturan dasar tentang perlindungan fasilitas medis dalam konflik bersenjata. Hal ini menyebabkan beberapa pejuang tidak sepenuhnya memahami bahwa rumah sakit harus bebas dari serangan.
Rumah sakit selama ini dikenal sebagai tempat perlindungan utama dalam situasi perang, di mana manusia bisa berlindung dan mendapat perawatan tanpa takut terjebak dalam kekerasan. Namun, di Papua, bahkan fasilitas kesehatan pun tidak luput dari kecurigaan dan kekerasan bersenjata. Penembakan yang terjadi di RSUD Wamena bukan sekadar pelanggaran konvensi internasional, melainkan juga pertanda bahwa konflik ini telah menyentuh batas-batas kemanusiaan yang semakin kabur.
Insiden ini meninggalkan pertanyaan besar tentang bagaimana sebuah perjuangan dapat tetap memegang teguh prinsip kemanusiaan ketika senjata menjadi bahasa utama penyelesaian masalah. Selain itu, muncul pula keraguan tentang bagaimana negara dapat membangun kembali kepercayaan di wilayah yang penduduknya merasa lebih takut terhadap aparat keamanan daripada merasa dilindungi oleh mereka.
Di Papua, rumah sakit tidak lagi hanya menjadi tempat untuk menyelamatkan nyawa. Ia kini menjadi cermin betapa rapuhnya garis batas antara perang dan kemanusiaan di tengah konflik yang berkepanjangan. (*)