Didominasi Generasi Muda, Hutang Pinjol Rp75,53 Triliun

OJK mencatat total outstanding pinjaman perseorangan di pinjol mencapai Rp75,53 triliun per Februari 2025. Peminjaman didominasi masyarakat berusia 19-34 tahun. Foto-iStockphoto--
Radarlambar.bacakoran.co— Fenomena pinjaman online (pinjol) terus menunjukkan geliat pertumbuhan signifikan di tengah pesatnya digitalisasi keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa total nilai pinjaman aktif perseorangan melalui layanan teknologi keuangan berbasis peer-to-peer (P2P) lending telah mencapai Rp75,53 triliun per Februari 2025.
Laporan ini termuat dalam Statistik Lembaga Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), dan memberikan gambaran mendalam mengenai profil demografis peminjam serta kualitas kredit yang beredar di ranah pinjaman digital.
Dari sisi kelompok usia, generasi muda menjadi pengguna terbesar layanan pinjaman digital. Masyarakat berusia 19 hingga 34 tahun menguasai hampir setengah dari total outstanding, dengan nilai mencapai Rp38,18 triliun. Disusul kelompok usia 35 hingga 54 tahun yang menyumbang Rp33,74 triliun. Sementara itu, usia di atas 54 tahun mencatatkan angka Rp3,39 triliun, dan yang mengejutkan, kelompok usia di bawah 19 tahun pun sudah terlibat dalam pinjaman online hingga Rp309,6 miliar.
Tak hanya dari sisi jumlah, OJK juga menyoroti kualitas pinjaman berbasis kategori usia. Pinjaman yang tergolong lancar—yakni yang masih dalam masa pembayaran atau belum jatuh tempo—mendominasi dengan angka Rp64,33 triliun. Lagi-lagi, kelompok usia 19–34 tahun menjadi kontributor terbesar dengan pinjaman lancar mencapai Rp32,42 triliun, menunjukkan ketergantungan tinggi generasi muda terhadap pembiayaan digital.
Namun, bayang-bayang risiko mulai tampak dari data pinjaman bermasalah. Pinjaman dalam perhatian khusus (terlambat <30 hari) tercatat Rp4,7 triliun, dengan mayoritas berasal dari kelompok usia muda. Di kategori yang lebih serius, yakni pinjaman kurang lancar (30–60 hari), nilainya mencapai Rp2,6 triliun, sedangkan pinjaman tidak lancar (60–90 hari) menyentuh Rp2,1 triliun.
Yang paling mengkhawatirkan adalah pinjaman macet—yakni kredit yang menunggak lebih dari 90 hari—telah menembus angka Rp1,6 triliun. Lebih dari separuhnya kembali berasal dari kelompok usia produktif muda, mencerminkan potensi krisis literasi finansial di tengah kemudahan akses terhadap pembiayaan digital.
Temuan ini menyoroti pentingnya edukasi literasi finansial, terutama bagi kalangan milenial dan Gen Z yang secara alami lebih akrab dengan teknologi namun belum sepenuhnya memahami risiko keuangan jangka panjang. Ketergantungan pada pinjaman berbasis aplikasi, jika tidak dibarengi dengan perencanaan anggaran yang matang, berpotensi menjerumuskan ke dalam siklus utang berkelanjutan.
Dengan nilai pinjaman yang terus meningkat, dan distribusi yang mulai merambah usia di bawah 19 tahun, regulasi serta pengawasan dari OJK menjadi semakin krusial. Perlindungan konsumen, terutama terhadap praktik predatoris dan pinjaman ilegal, harus tetap menjadi prioritas utama demi menciptakan ekosistem keuangan digital yang sehat dan inklusif.(*/edi)