Jerat Gelap Perempuan Indonesia di Balik Pusat Judi Daring Kamboja

Keluarga korban TPPO Kamboja asal Jember.//Foto:dok/net.--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO -Di balik janji pekerjaan bergaji besar dan peluang mengubah hidup, banyak perempuan Indonesia justru terjerat dalam mimpi buruk eksploitasi di pusat-pusat judi daring di Kamboja. Mereka tak hanya menjadi korban tipu daya sindikat perdagangan orang, tapi juga harus menanggung luka fisik, mental, hingga kekerasan seksual yang mengerikan.

Perjalanan Awal yang Menipu

Kisah kelam ini bermula dari rayuan pekerjaan menggiurkan. Seorang perempuan muda lulusan SMA asal Indonesia menerima tawaran bekerja di sektor “keuangan” dengan gaji menjanjikan. Tanpa curiga, ia menyerahkan dokumen pribadi dan mengikuti instruksi untuk berangkat ke Malaysia. Namun, sesampainya di sana, tak ada siapa pun menjemputnya. Tiket lanjutan membawanya ke Phnom Penh, ibu kota Kamboja, dan dari sana, ia dibawa ke sebuah rumah yang ternyata adalah markas operasi judi daring ilegal.

Di tempat itulah kenyataan pahit mulai terkuak. Alih-alih pekerjaan legal, ia dipekerjakan sebagai admin judi online. Paspor disita, kebebasan dibatasi, dan keinginan pulang kandas karena biaya tebusan yang harus dibayar sendiri. Ia terjebak dalam lingkaran kerja paksa yang panjang, bekerja 12 jam sehari tanpa kepastian.

Eksploitasi dan Kekerasan Sistematis

Kondisi menjadi semakin buruk ketika target kerja tak tercapai. Para perempuan seperti dia bisa dikurung, dipukuli, bahkan mengalami pelecehan seksual. Selama masa “hukuman” itu, makanan hanya diberikan dua hari sekali dan tindak kekerasan menjadi hal rutin. Tindakan tersebut bahkan direkam dan dijadikan alat ancaman agar korban bungkam.

Tak sedikit perempuan lain mengalami nasib serupa. Mereka harus menghadapi pelecehan dari sesama WNI, bahkan dari atasan yang dulunya juga korban namun kini jadi bagian sistem yang menindas.

Dalam lingkungan kerja yang keras dan penuh tekanan, mereka dipaksa berinteraksi dengan pelanggan dalam konteks seksual demi mempertahankan target dan menghindari kekerasan. Media sosial menjadi senjata utama, di mana mereka membujuk calon korban untuk menyetor dana ke platform judi, sering kali dengan rayuan seksual yang terpaksa mereka lakukan.

Dibungkam oleh Ketakutan dan Relasi Kuasa

Di balik semua itu terdapat relasi kuasa yang dimanfaatkan pelaku untuk menundukkan korban. Banyak dari pelaku adalah orang Indonesia sendiri—mantan teman, tetangga, atau keluarga—yang telah lebih dulu masuk dalam jaringan ini. Korban pun enggan melapor karena takut akan ancaman atau tidak percaya diri akan mendapat perlindungan.

Faktor-faktor seperti perceraian, kemiskinan, dan kurangnya pendidikan membuat perempuan semakin rentan. Mereka kerap dianggap “lemah” dan “mudah ditipu”, menjadikan mereka target empuk para perekrut.

Minimnya Perlindungan dan Penegakan Hukum

Laporan dari Kementerian Luar Negeri RI menunjukkan bahwa mayoritas kasus WNI yang terjebak sindikat penipuan online terjadi di Kamboja. Dari lebih dari 7.600 kasus yang tercatat sejak 2021, lebih dari 4.300 kasus terjadi di negara tersebut. Sementara itu, Myanmar berada di urutan kedua.

Meski sudah ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sejak 2022, penerapan dan perlindungannya masih belum optimal. Banyak kasus kekerasan seksual—termasuk yang terjadi dalam skema TPPO—berhenti di tahap penyelidikan, tanpa tindak lanjut berarti.

Sebagian korban yang berhasil dipulangkan pun enggan melapor, terlebih jika pelaku adalah orang dekat. Bahkan ketika kasus dilaporkan, prosesnya kerap lambat dan tidak memberikan keadilan yang layak bagi para penyintas.

Trauma yang Tak Mudah Sembuh

Pengalaman kekerasan seksual meninggalkan luka mendalam yang sulit hilang. Rasa malu, takut, dan trauma membuat banyak perempuan memilih diam. Ada yang sudah bersedia membuka suara, tapi tetap merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpercayaan diri dan ketakutan akan stigma masyarakat.

Shelter dan perlindungan masih belum mencukupi. Banyak WNI yang tidak terdata saat keluar dari Indonesia, sehingga sulit dilacak saat menjadi korban. Sementara, proses pendampingan hukum baru berjalan jika korban berani melapor dan bersedia menjadi saksi—hal yang sulit dilakukan, terlebih jika pelaku masih bebas berkeliaran.

Jalan Panjang Menuju Pemulihan

Pemerintah Indonesia, melalui kerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terus berupaya menyediakan pendampingan hukum dan perlindungan. Namun, hasilnya belum sepenuhnya terasa di lapangan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan di pusat judi dan penipuan daring masih terus terjadi, sementara pelaku terus memanfaatkan kelemahan sistem dan kerentanan sosial ekonomi korban. Perempuan-perempuan Indonesia seperti Ita dan Nisa telah menjadi saksi bisu kekejaman sistem ini—terjebak di antara janji manis dan kenyataan brutal yang menyesakkan.

Harapannya, semakin banyak korban yang berani bersuara, semakin besar pula tekanan untuk membongkar sindikat kejahatan ini dan membangun sistem perlindungan yang lebih kuat, adil, dan berpihak pada mereka yang paling rentan.










Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan