Pengguna Usia 19-34 Tahun, Pinjol Tembus Rp76 Triliun

OJK mencatat total pinjaman pinjol mencapai Rp76,16 triliun per April 2025. Berdasarkan kelompok umur, peminjam didominasi usia 19-34 tahun. Foto REUTERS--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat generasi muda masih menjadi kelompok paling dominan dalam pinjaman berbasis teknologi informasi atau fintech peer-to-peer (P2P) lending. Berdasarkan Statistik Lembaga Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) per April 2025, outstanding pinjaman mencapai Rp76,16 triliun. Dari total tersebut, 50 persen lebih diserap kelompok usia 19–34 tahun dengan nilai pinjaman Rp38,34 triliun.

Kelompok usia produktif menengah, yakni 35–54 tahun, menempati posisi kedua dengan total pinjaman Rp34,28 triliun. Sementara itu, debitur di atas 54 tahun tercatat Rp3,46 triliun, dan pinjaman yang diajukan kelompok usia di bawah 19 tahun mencapai Rp303,9 miliar.

Data OJK juga memperlihatkan klasifikasi kualitas pinjaman. Pinjaman lancar, yakni yang belum jatuh tempo, tercatat Rp65,07 triliun, di mana lebih dari setengahnya dimiliki kelompok 19–34 tahun dengan porsi Rp32,68 triliun. Selanjutnya, pinjaman dalam perhatian khusus (tunggakan kurang dari 30 hari) berjumlah Rp4,6 triliun, yang kembali didominasi kelompok usia muda sebesar Rp2,4 triliun.

Di kategori pinjaman kurang lancar (30–60 hari), outstanding mencapai Rp2,3 triliun, dengan Rp1,1 triliun berasal dari kelompok usia 19–34 tahun. Bahkan, dalam pinjaman tidak lancar (60–90 hari), mayoritas juga ditopang generasi muda dengan nilai Rp1,9 triliun dari total Rp2,3 triliun.

Tren ini menunjukkan bahwa meskipun generasi muda menjadi motor utama pertumbuhan pinjaman digital, mereka juga menghadapi risiko gagal bayar paling tinggi. Karakteristik pinjaman online yang cepat, mudah, dan minim syarat membuat kelompok usia 19–34 tahun sangat rentan terjerat utang konsumtif. OJK menilai kondisi ini sebagai fenomena ganda: di satu sisi mendukung inklusi keuangan, namun di sisi lain meningkatkan kerentanan finansial.

Apalagi, mayoritas pinjaman online digunakan untuk kebutuhan konsumtif jangka pendek, bukan untuk investasi atau pengembangan usaha produktif. Hal ini membuat ketergantungan pada pinjaman berbunga tinggi semakin berisiko bagi generasi yang seharusnya tengah membangun fondasi keuangan jangka panjang.

OJK menekankan perlunya literasi keuangan yang lebih agresif di kalangan anak muda, mengingat mereka kini menjadi kelompok paling rentan dalam kualitas pinjaman bermasalah. Regulasi perlindungan konsumen dan pembatasan bunga diharapkan dapat menekan angka gagal bayar, namun tanpa disiplin penggunaan, risiko finansial tetap membayangi.(*/edi)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan