Setop Impor Solar, Pemerintah Terapkan B50 Tahun Depan

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan Indonesia butuh investasi hingga US$618 miliar atau sekitar Rp10.224,18 triliun untuk hilirisasi 20 komoditas unggulan. FotoAFP--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Pemerintah menegaskan komitmennya menuju kemandirian energi nasional dengan menetapkan penerapan bahan bakar campuran biodiesel 50 persen atau B50 pada paruh kedua tahun 2026. Langkah strategis ini menjadi bagian dari agenda besar transisi energi sekaligus upaya menghentikan ketergantungan Indonesia terhadap impor solar yang selama ini membebani neraca perdagangan dan devisa negara.

Keputusan penerapan B50 telah disetujui dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin langsung Presiden Prabowo Subianto. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan, penerapan B50 merupakan tindak lanjut dari kebijakan mandatori biodiesel yang telah dijalankan pemerintah sejak 2016, dimulai dari B10, B20 hingga B40. Setiap tahap kebijakan terbukti memberikan dampak positif terhadap perekonomian, terutama dalam menekan impor bahan bakar fosil dan memperkuat posisi minyak sawit sebagai sumber energi alternatif nasional.

Pemerintah saat ini tengah melakukan uji coba menyeluruh terhadap penggunaan B50 di berbagai jenis kendaraan dan alat berat, mulai dari kereta api, kapal laut, hingga mobil pribadi. Uji coba ini ditargetkan rampung sebelum peluncuran resmi pada semester II tahun depan. Kementerian ESDM memastikan seluruh proses pengujian berjalan sesuai standar teknis dan keselamatan agar penerapan B50 dapat dilakukan secara optimal tanpa menimbulkan gangguan pada rantai distribusi energi nasional.

Program biodiesel selama ini terbukti mampu menekan impor solar hingga jutaan barel per tahun. Dengan penerapan B40 saja, Indonesia berhasil mengurangi impor sekitar 4,9 juta barel solar per tahun, atau sekitar 10 persen dari total konsumsi nasional. Melalui B50, pemerintah berharap ketergantungan terhadap impor dapat dihapus sepenuhnya, sehingga setiap liter bahan bakar yang dikonsumsi masyarakat berasal dari produksi dalam negeri.

Selain memberi dampak langsung terhadap efisiensi fiskal, kebijakan ini juga memperkuat posisi petani sawit sebagai tulang punggung penyedia bahan baku energi. Nilai tambah dari pengolahan minyak sawit mentah (CPO) menjadi bahan bakar terbarukan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil. Pemerintah menilai keberhasilan program ini akan menjadi contoh nyata bagaimana sektor energi dapat mendorong pemerataan ekonomi di wilayah pedesaan.

Biodiesel juga berperan penting dalam mendukung target nasional penurunan emisi gas rumah kaca dan percepatan transisi menuju energi bersih. Dengan menggantikan sebagian besar bahan bakar fosil, Indonesia tidak hanya menekan emisi karbon, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai salah satu negara dengan komitmen nyata terhadap pembangunan berkelanjutan.

Penerapan B50 selaras dengan visi Presiden Prabowo untuk menjadikan Indonesia berdaulat secara energi. Pemerintah menegaskan seluruh kebutuhan energi nasional ke depan harus bersumber dari potensi lokal agar perekonomian tidak mudah terguncang oleh dinamika harga minyak dunia. Langkah ini juga mencerminkan perubahan paradigma, dari negara konsumen energi fosil menuju produsen energi hijau yang mandiri dan berdaya saing global.

Jika seluruh tahapan berjalan sesuai jadwal, Indonesia akan menempati posisi strategis sebagai salah satu negara dengan implementasi biodiesel terbesar di dunia, sejajar dengan Brasil dan Amerika Serikat. Lebih dari sekadar program energi, kebijakan B50 dipandang sebagai simbol keberanian politik dalam mengubah arah pembangunan nasional menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. (*/edi)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan