Radarlambar.bacakoran.co - Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Hal tersebut menandakan bahwa pemerintah Indonesia akan meluncurkan program pengampunan terhadap pajak untuk ketiga kalinya dalam waktu dekat, yang langsung mendapat kritik dari kalangan ekonom. Kritik ini muncul karena program tax amnesty tersebut dilaksanakan bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.
Ekonom dari Universitas Diponegoro, Wahyu Widodo, mengungkapkan bahwa meskipun kedua kebijakan ini terpisah, keduanya berhubungan dengan pajak dan melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda secara ekonomi. Akibatnya, kebijakan ini dinilai menguntungkan pihak tertentu dan menciptakan ketidakadilan. Wahyu menambahkan bahwa tax amnesty sering kali dimanfaatkan oleh wajib pajak dengan penghasilan tinggi, seperti konglomerat dan orang kaya. Sebagai contoh, dalam program tax amnesty jilid II pada 2022, beberapa orang dengan kekayaan lebih dari Rp 1 triliun mendapat pengampunan pajak.
Di sisi lain, PPN diterapkan pada seluruh transaksi barang dan jasa yang dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, dari kelas menengah hingga masyarakat miskin. Hal ini menyebabkan banyak orang menganggap bahwa rakyat kecil terbebani dengan PPN yang meningkat, sementara orang kaya mendapatkan keringanan melalui pengampunan pajak.
Situasi tersebut malah semakin rumit karena masyarakat kelas menengah juga bawah tengah mengalami penurunan lada daya beli, Pendapatan mereka yang tidak sebanding dengan inflasi semakin mengurangi kemampuan konsumsi, yang tercermin dalam melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Bahkan, menurut Guru Besar Ekonomi Moneter Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty, kenaikan tarif PPN ditahun 2025 itu berakibat pada daya beli masyarakat semakin tertekan, dan akan memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Telisa mengingatkan bahwa kebijakan itu harus dicermati dengan hati-hati agar tidak semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.
Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, juga mengakui bahwa usulan untuk memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 muncul secara mendadak. Komisi XI baru mengetahui tentang usulan ini setelah rapat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 18 November 2024. Menanggapi hal tersebut, Misbakhun mengatakan bahwa Komisi XI merasa lebih tepat untuk mengusulkan kebijakan ini, mengingat pengalaman mereka dalam membahas tax amnesty sebelumnya.(*)