Radarlambar.Bacakoran.co - Pada awal tahun 2024, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi mengumumkan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10%. Kebijakan ini mencakup berbagai jenis produk tembakau, termasuk rokok elektrik yang mengalami kenaikan tarif cukai rata-rata 15%, serta produk pengolahan tembakau lainnya (HTPL) yang dinaikkan sebesar 6%. Kenaikan cukai ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022 dan PMK Nomor 192 Tahun 2022, yang diberlakukan dalam periode multiyears, mencakup 2023 hingga 2024.
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mendukung program jaminan kesehatan masyarakat, dengan sebagian besar penerimaan pajak rokok digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum. Selain itu, pemerintah berencana untuk terus menaikkan cukai ini setiap tahun hingga 2027, sesuai dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada tahun 2022.
Kenaikan Cukai Rokok Elektrik: Pengusaha Mengeluh
Salah satu dampak signifikan dari kenaikan cukai ini adalah lonjakan harga rokok elektrik. Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) memperkirakan harga jual rokok elektrik akan naik sekitar 10 hingga 12% mulai Januari 2024. Sekretaris Jenderal APVI, Garindra Kartasasmita, menyatakan bahwa meskipun kebijakan ini telah diprediksi sejak 2022, pelaku industri merasa kebijakan ini disusun tanpa komunikasi dan sosialisasi yang cukup dengan pihak terkait. Ia juga menyoroti ketidakjelasan definisi mengenai rokok elektrik dalam regulasi, yang dinilai tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Garindra menambahkan bahwa meskipun rokok elektrik dikenakan cukai sebagai produk hasil tembakau, tidak ada definisi yang jelas mengenai rokok elektrik dalam aturan yang ada, sehingga menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha.
Dampak Pada Petani Tembakau
Kenaikan cukai tembakau juga memengaruhi petani tembakau. Agus Parmuji, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), mengungkapkan bahwa petani tembakau telah merasakan dampak buruk dari kenaikan cukai dalam lima tahun terakhir. Dalam periode tersebut, kenaikan cukai yang eksesif—seperti pada 2020 yang mencapai 23%—telah menyebabkan harga tembakau turun dan permintaan yang melambat. Agus juga memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat memperburuk keadaan petani tembakau, karena konsumen berpotensi beralih ke rokok ilegal yang lebih murah akibat harga rokok yang terus naik.
Sektor Rokok Berperan Besar dalam Ekonomi Indonesia
Industri hasil tembakau (IHT) memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2023, penerimaan negara dari cukai tembakau mencapai Rp 213,48 triliun, belum termasuk pajak lain yang dibayarkan oleh produsen rokok. Selain menyumbang besar terhadap pendapatan negara, industri ini juga menyerap sekitar 5,8 juta tenaga kerja di berbagai sektor.
Namun, sektor ini juga menghadapi tantangan besar dengan lebih dari 400 regulasi yang mengatur IHT, menurut Kementerian Perindustrian. Hal ini dinilai menghambat pertumbuhan industri tembakau, meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau sudah cukup keras dalam mengatur produk ini.
Kenaikan Harga Jual Eceran Rokok 2025
Menjelang tahun 2025, Kemenkeu juga merilis harga jual eceran (HJE) rokok terbaru, yang menunjukkan kenaikan signifikan pada berbagai jenis rokok. Berdasarkan PMK Nomor 97 Tahun 2024, harga jual rokok di 2025 akan mengalami peningkatan bervariasi. Misalnya, untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I, harga jual akan naik 5,08% menjadi Rp 2.375 per batang. Sementara untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), harga jual per batang akan naik hingga 15%.
Selain itu, harga rokok elektrik juga akan mengalami kenaikan. Rokok elektrik padat akan dihargai minimal Rp 6.240 per gram, sementara rokok elektrik cair sistem terbuka dan tertutup akan naik masing-masing sebesar 22,03% menjadi Rp 1.368 per gram dan Rp 41.983 per gram.
Kenaikan tarif cukai rokok yang berlaku mulai 2024 dipastikan akan memberikan dampak yang cukup besar, baik bagi konsumen, pelaku usaha, maupun petani tembakau. Meski kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung sektor kesehatan, keberlanjutan industri rokok dan kelangsungan hidup petani tembakau harus tetap menjadi perhatian pemerintah. Kebijakan yang terkesan mendesak ini juga menuntut komunikasi yang lebih baik antara pihak pemerintah dan pelaku usaha agar tidak menimbulkan ketidakpastian di pasar dan mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan.(*)