Radarlambar.Bacakoran.co - Keputusan mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah untuk menjadi kuasa hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menuai kritik dari berbagai pihak. Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai meskipun secara hukum tidak ada pelanggaran, namun langkah tersebut menimbulkan pertanyaan dari sisi etika dan kepatutan.
Pukat UGM: Ada Potensi Konflik Kepentingan
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rochman, menekankan bahwa meskipun secara hukum tidak ada larangan bagi seorang mantan pejabat KPK menjadi pengacara, namun secara etika terdapat potensi konflik kepentingan. Apalagi, pada saat operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus yang membelit Hasto, Febri masih menjabat sebagai juru bicara KPK.
"Dari sisi hukum, tidak ada aturan yang dilanggar. Undang-Undang Advokat maupun peraturan lain tidak melarangnya. Namun, yang menjadi sorotan adalah aspek kepantasan dan etika," ujar Zaenur kepada wartawan, Jumat 14 Maret 2025 kemarin.
Ia menambahkan bahwa posisi Febri sebagai jubir KPK saat OTT berlangsung berpotensi menimbulkan kebingungan di masyarakat. "Ketika seseorang yang dahulu berperan menyampaikan informasi dari KPK kini berada di pihak yang diduga terlibat, ini bisa memicu pertanyaan publik mengenai independensi dan transparansi," jelasnya.
Zaenur menyarankan agar Febri mempertimbangkan kembali perannya dalam membela Hasto untuk menjaga kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi. "Akan lebih baik jika situasi yang berpotensi menimbulkan kebingungan publik ini dihindari," katanya.
Febri Diansyah Tanggapi Kritik: Hormati Perbedaan Pandangan
Menanggapi kritik yang muncul, Febri Diansyah menyatakan menghormati semua pihak yang memberikan masukan, termasuk dari mantan rekan-rekannya di KPK seperti Novel Baswedan dan Yudi Purnomo. Ia menganggap perbedaan pendapat sebagai hal yang wajar dan mengajak semua pihak untuk tetap menjaga hubungan baik.