Meninggal Dunia dan Tanpa Ahli Waris, Bagaimana Nasib Tabungan? Ini Penjelasan KUH Perdata

Rabu 09 Apr 2025 - 16:20 WIB
Reporter : Edi Prasetya
Editor : Edi Prasetya

Radarlambar.bacakoran.co- Pertanyaan tentang nasib tabungan seseorang yang meninggal dunia tanpa diketahui siapa ahli warisnya, belakangan semakin sering mencuat. Kasus seperti ini tidak hanya menyisakan teka-teki, tetapi juga membuka ruang pembahasan tentang ketentuan hukum waris di Indonesia.

Dalam sistem hukum perdata, pewarisan terjadi hanya karena kematian, sebagaimana diatur dalam Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pewarisan menurut aturan ini hanya diberikan kepada pihak yang memiliki hubungan darah dengan si pewaris, baik anak sah maupun anak luar kawin, serta pasangan hidup yang sah dan masih hidup saat pewaris wafat.

KUH Perdata membagi ahli waris dalam empat golongan prioritas. Golongan pertama terdiri dari pasangan sah dan anak-anak kandung atau keturunannya. Apabila golongan ini tidak ada, maka hak waris berpindah ke golongan kedua, yakni orang tua dan saudara kandung.

Bila masih tak ditemukan, giliran golongan ketiga yang terdiri dari keluarga garis lurus ke atas, seperti kakek dan nenek. Golongan keempat mencakup paman, bibi, dan keturunannya hingga derajat keenam dari garis keturunan pewaris.

Skema ini menunjukkan bahwa pembagian warisan tunduk pada urutan. Selama masih ada yang masuk dalam golongan lebih awal, maka golongan berikutnya tidak berhak.

Namun, bagaimana bila dalam waktu yang cukup lama tak seorang pun tampil sebagai ahli waris yang sah? Bagaimana nasib tabungan yang dibiarkan mengendap tanpa ada yang mengklaim?

Menurut Pasal 1127 KUH Perdata, dalam kondisi semacam itu, harta peninggalan dianggap tak terurus dan menjadi tanggung jawab Balai Harta Peninggalan (BHP). Lembaga ini secara hukum wajib mengurus warisan yang terbengkalai, terlepas dari apakah nilai harta cukup untuk menutupi utang pewaris atau tidak. BHP juga wajib melaporkan pengurusan tersebut kepada Kejaksaan di wilayah pengadilan yang bersangkutan.

Ketentuan ini memberi perlindungan hukum terhadap harta peninggalan yang belum jelas pemilik sahnya, sekaligus menjadi pintu masuk negara untuk sementara menguasainya.

Lantas, kapan negara benar-benar dapat mengambil alih harta yang ditinggalkan?

Pasal 1129 KUH Perdata menyebutkan bahwa jika dalam kurun waktu tiga tahun sejak warisan terbuka tidak ada seorang pun yang mengklaim sebagai ahli waris, maka negara berhak untuk mengambil alih kepemilikan secara sementara. Pada tahap ini, negara akan menghitung dan mencatat harta yang masuk dalam penguasaannya.

Meski begitu, negara tak serta-merta menjadi pemilik mutlak. Jika di kemudian hari ada ahli waris sah yang muncul dan dapat membuktikan hubungannya secara hukum, maka ia tetap memiliki hak untuk menuntut pemulihan kepemilikan atas harta tersebut.

Kasus seperti ini menegaskan pentingnya pencatatan warisan secara tertib dan transparan. Bagi masyarakat, penting untuk mengetahui siapa yang berhak menjadi ahli waris dan bagaimana prosedur yang harus ditempuh untuk mengklaimnya. Bagi negara, penting untuk menjaga agar warisan yang tidak terurus tetap dikelola secara bertanggung jawab, sesuai koridor hukum.

Dengan demikian, tabungan atau harta lain yang ditinggalkan seseorang tidak akan sekadar mengendap, tetapi tetap dalam koridor hukum yang jelas—termasuk kemungkinan dikelola negara ketika tak seorang pun tampil sebagai ahli waris sah.

Kategori :