Radarlambar.bacakoran.co -Nama Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat sebagai calon Pahlawan Nasional untuk tahun 2025. Pengusulan ini dilakukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), melalui proses berjenjang yang dimulai dari tingkat daerah hingga pusat. Namun, di tengah proses tersebut, muncul perdebatan publik terkait layak atau tidaknya Soeharto diberikan gelar kehormatan tersebut.
Secara administratif, Soeharto memenuhi kriteria untuk mendapatkan gelar tersebut. Ia tercatat memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan, di antaranya memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Operasi Mandala untuk pembebasan Irian Barat pada tahun 1962. Peran militernya memberikan dampak signifikan dalam sejarah pertahanan dan integrasi wilayah Indonesia.
Namun, di balik kontribusinya, ada sisi gelap sejarah yang sulit untuk diabaikan. Perannya dalam transisi kekuasaan pasca peristiwa 1965 dan dalam Orde Baru menyisakan luka panjang bagi sebagian masyarakat. Tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pembungkaman kebebasan pers, serta represi terhadap oposisi menjadi catatan kelam yang terus menyertai nama besar Soeharto.
Sejumlah akademisi berpendapat bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh seperti Soeharto sebaiknya dilakukan dengan pendekatan yang lebih kontekstual. Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Agus Suwignyo, menekankan pentingnya untuk melihat sejarah secara tidak hitam-putih. Artinya, pengakuan terhadap kontribusi Soeharto bisa diberikan, namun harus diiringi dengan kesadaran penuh akan jejak kontroversial yang mengikutinya.
Usulan ini juga memunculkan wacana untuk perlunya kategorisasi gelar pahlawan, misalnya pemberian gelar di bidang tertentu atau pada periode waktu yang jelas. Dengan cara ini, pengakuan terhadap kontribusi dapat tetap dilakukan tanpa menafikan fakta sejarah yang lebih luas.
Hal serupa pernah terjadi pada kasus Syafruddin Prawiranegara. Meski sempat dicap sebagai pengkhianat karena keterlibatannya dalam PRRI, Syafruddin tetap dianggap tokoh penting dalam membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa sejarah Indonesia sering kali melibatkan tokoh-tokoh dengan peran ganda—sebagai pejuang dan figur kontroversial.
Selain Soeharto, ada juga tokoh-tokoh lain yang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional tahun ini. Dalam daftar calon, terdapat sembilan nama lainnya, termasuk tokoh agama, pendidikan, dan kebudayaan dari berbagai daerah, seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), serta tokoh perempuan dan lokal seperti Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali) dan Deman Tende (Sulawesi Barat).
Proses seleksi calon pahlawan nasional memang bukan perkara mudah. Selain menilai jasa seseorang, proses ini juga menyangkut bagaimana sejarah bangsa ditulis, dimaknai, dan diwariskan. Oleh karena itu, wajar jika usulan terhadap tokoh seperti Soeharto menimbulkan pro dan kontra, karena pada akhirnya pengakuan sejarah adalah cerminan dari ingatan kolektif bangsa.(*)
Kategori :