Salah satu pendekatan yang kini mulai dipertimbangkan oleh pemerintah pekon adalah pemberdayaan BUMDes dalam pengelolaan sampah rumah tangga, dengan dukungan penuh dari masyarakat.
Namun, tantangan utama bukan hanya soal sampah warga lokal. Sutisna mengakui, tumpukan sampah liar yang memenuhi pinggiran jalan itu banyak berasal dari oknum warga luar daerah, khususnya dari arah Ranau, OKU Selatan, yang memanfaatkan lokasi strategis pinggir jalan untuk membuang sampah secara sembarangan.
“Ini masalah lintas batas. Lokasinya memang rawan, di pinggir jalan besar, dan itu sering dimanfaatkan oleh warga luar yang melintas. Jadi bukan hanya warga kami yang membuang sampah di situ,” jelasnya.
Masalah semakin pelik setelah diketahui bahwa upaya penanganan sampah sempat berjalan beberapa waktu lalu. Saat itu pemerintah pekon dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Lampung Barat telah berinisiatif melakukan penertiban dan pengangkutan sampah.
Namun, program itu terhenti karena keterbatasan anggaran pekon. Sutisna mengungkapkan, biaya pengangkutan yang diminta DLH sebesar Rp200.000 per kali angkut, dengan estimasi delapan kali angkut dalam sebulan, terlalu membebani keuangan pekon.
“Kami tidak mampu menanggung biaya angkut sebesar itu setiap bulan. Bukan karena tidak mau, tapi dana pekon juga punya keterbatasan dan banyak kebutuhan lain yang mendesak,” pungkasnya. (edi/lusiana)