RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, hingga akhir Juni 2025, ekspor batu bara Indonesia telah menembus 238 juta ton dari total produksi nasional 357,60 juta ton. Sebanyak 104,6 juta ton sisanya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik sesuai kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).
Realisasi ini menandai pencapaian 48,34 persen dari target produksi tahunan yang dipatok pemerintah sebesar 739,67 juta ton. Dari jumlah target tersebut, 239,7 juta ton diperuntukkan bagi konsumsi dalam negeri, terutama untuk sektor pembangkit listrik, industri semen, dan kebutuhan energi lainnya.
Secara global, perdagangan batu bara diperkirakan mencapai 1,3 miliar ton pada 2025. Indonesia memegang peran vital sebagai pemasok utama, dengan kontribusi sekitar 650 juta ton. Angka itu menjadikan Indonesia penguasa hampir setengah pasar ekspor dunia, bersaing dengan Australia dan Rusia.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan, batu bara asal Indonesia menopang sekitar 45 persen kebutuhan listrik dunia. Namun, dominasi tersebut kini dihadapkan pada ancaman penurunan harga yang signifikan. Data pasar menunjukkan, harga batu bara acuan (HBA) turun dari kisaran 180 dolar AS per ton pada awal 2024 menjadi sekitar 125 dolar AS per ton pada Juli 2025, seiring melemahnya permintaan dari Tiongkok, India, dan Eropa.
Penurunan harga dan volume permintaan berpotensi menekan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor minerba. Padahal, pada semester pertama 2025, sektor ini sudah menyumbang sekitar Rp138 triliun PNBP. Bila tren penurunan harga berlanjut, pemerintah harus melakukan penyesuaian target penerimaan atau mencari kompensasi dari sektor lain.
Untuk menjaga stabilitas industri, Kementerian ESDM bersama parlemen menyiapkan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan. Revisi ini diharapkan memberi ruang fleksibilitas bagi pelaku usaha dalam menyesuaikan volume produksi sesuai dinamika pasar global.
Selain itu, pemerintah mulai memperkuat strategi hilirisasi batu bara menjadi produk turunan bernilai tambah seperti dimetil eter (DME) pengganti LPG, briket, hingga gasifikasi. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor mentah yang rentan terhadap fluktuasi harga.
Meskipun Indonesia masih menjadi raksasa di pasar batu bara, tren transisi energi global menuju sumber energi bersih menjadi tantangan jangka panjang. Penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Inggris pada 2024 dan percepatan program dekarbonisasi di Uni Eropa memberi sinyal bahwa permintaan batu bara bisa terus tergerus dalam satu hingga dua dekade mendatang.
Bahlik menegaskan bahwa posisi strategis Indonesia di pasar batu bara tidak boleh membuat terlenad an strategi diversifikasi pasar dan hilirisasi harus berjalan beriringan untuk menjaga daya saing sektor minerba.(*/edi)