Partisipasi Rendah di Pilkada 2024: Krisis Representasi atau Masalah Kandidat?
ilustrasi Pemilu 2024.//foto;dok/net.--
Radarlambar.Bacakoran.co - Rendahnya partisipasi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi perhatian serius. Tingkat kehadiran yang berada di bawah 70 persen, menurut anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI August Mellaz, masih dianggap normal secara nasional. Namun, angka ini jauh dari ideal dalam mengukur keberhasilan demokrasi. Mengapa partisipasi pemilih masih menjadi tantangan?
Fenomena Partisipasi Rendah
Dalam jumpa pers yang digelar pada Jum’at 29 November 2024 lalu, August Mellaz menyebut bahwa rata-rata partisipasi pemilih dalam pilkada selalu lebih rendah dibandingkan pemilihan presiden atau legislatif. Secara prinsip, jumlah TPS atau pemilih per TPS tidak terlalu berdampak signifikan. Namun, pihaknya akan mengevaluasi, termasuk faktor lokasi TPS yang mungkin menjadi hambatan.
Evaluasi ini penting untuk memahami penyebab rendahnya kehadiran di tempat pemungutan suara (TPS), apakah berkaitan dengan teknis penyelenggaraan atau lebih mendalam, seperti ketidakpercayaan terhadap proses politik.
Kandidat Kurang Mengelaborasi Isu Lokal
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, Selasa 3 Desember 2024 kemarin, menyoroti ketidakmampuan banyak kandidat dalam memahami dan menyelesaikan isu-isu lokal. Hal ini membuat mereka gagal menarik kepercayaan masyarakat.
Dikatakannya, banyak calon tidak menjawab permasalahan spesifik di daerahnya. Akibatnya, pemilih dengan kesadaran politik tinggi memilih untuk tidak hadir di TPS sebagai bentuk protes.
Ketika kandidat tidak menawarkan solusi konkret, pemilih merasa tidak ada pilihan yang mewakili aspirasi masyarakatnya. Ini menciptakan krisis kepercayaan, terutama di daerah dengan isu-isu lokal yang kompleks.