Tiga Anggota TNI AL Terlibat Penembakan: TNI Dianggap Perlu Perbaikan Pengawasan Senpi

Tiga anggota TNI AL terlibat penembakan / Foto--net--

Radarlambar.bacakoran.co -Pada Kamis, 2 Januari 2025, tiga anggota TNI AL terlibat dalam insiden penembakan yang terjadi di Rest Area KM 45 Tol Jakarta-Merak, melibatkan pemilik rental mobil. Dimana oknum anggota TNI AL yang terlibat pada kejadian tersebut adalah KLK BA yakni Sertu RH serta Sertu AA. Dua dari mereka merupakan anggota satuan Kopaska Koarmada I TNI AL, sementara satu lainnya bertugas di KRI Bontang.

Panglima Koarmada TNI AL, Laksamana Muda Denih Hendrata, menjelaskan bahwa Sertu AA adalah seorang aide de camp (ADC) atau ajudan yang memiliki senjata api dinas yang selalu dibawa. Sedangkan Sertu BA dan Sertu RH merupakan paman dan rekan dari AA, yang juga terlibat dalam transaksi pembelian mobil tersebut.

Meskipun mereka dibekali senjata api dalam tugasnya, Laksamana Denih menegaskan bahwa anggota TNI dilarang bertindak secara arogan atau melakukan tindakan kekerasan seperti penembakan. Dia menegaskan bahwa jika terbukti bersalah, anggota TNI yang terlibat akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Peningkatan Kasus Pembunuhan di Luar Hukum oleh Aparat
Insiden penembakan ini menambah daftar panjang kasus kekerasan yang melibatkan aparat negara, khususnya dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Amnesty International Indonesia mencatat bahwa pada 2024 saja terdapat 55 kasus pembunuhan di luar hukum, dengan sebagian besar pelaku adalah anggota kepolisian dan militer, termasuk 10 pelaku dari TNI.

Menurut Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, tindakan tersebut jelas melanggar hak hidup dan menciptakan lingkaran impunitas yang berbahaya. Dia mendesak agar tindakan tegas diambil terhadap aparat yang menyalahgunakan wewenang, untuk menghentikan berlanjutnya penyalahgunaan senjata api oleh anggota TNI dan Polri.

Perlunya Evaluasi Pengawasan Senjata Api (Senpi)
Khairul Fahmi, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), berpendapat bahwa insiden ini harus menjadi momen bagi TNI untuk lebih ketat mengawasi penggunaan senjata api oleh anggotanya, baik dalam tugas resmi maupun pribadi. Ia menyoroti pentingnya prosedur yang mengatur penggunaan senjata api di luar tugas dinas, dan memeriksa apakah senjata yang digunakan oleh pelaku, yaitu Sertu AA, merupakan senjata dinas atau bukan.

Jika senjata yang digunakan adalah senjata dinas, Khairul menekankan bahwa prosedur ketat dalam penggunaannya di luar tugas resmi harus segera diperiksa. Sebaliknya, jika senjata tersebut diperoleh secara ilegal, maka tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang mengatur penggunaan senjata api tanpa izin.

Sementara itu, Haeril Halim, manajer dari Amnesty International Indonesia, juga menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap penggunaan senpi oleh TNI. Menurutnya, meskipun TNI memiliki aturan terkait penggunaan senjata, aturan tersebut tidak seketat yang ada di kepolisian, seperti yang tercantum dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009.

Perbandingan dengan Aturan Kepolisian
Di sisi lain, Kepolisian Indonesia sudah memiliki regulasi yang lebih ketat terkait penggunaan senjata api, seperti Perkap Nomor 1 Tahun 2009 yang mengatur prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Aturan ini mengharuskan setiap penggunaan senpi oleh anggota Polri dilaporkan kepada atasan dan dilakukan dengan mempertimbangkan legalitas, proporsionalitas, dan kewajiban umum.

Sayangnya, TNI belum memiliki aturan yang rigid terkait penggunaan senjata api, yang menyebabkan perbedaan penanganan antara Polri dan TNI dalam kasus-kasus serupa.

Reformasi Peradilan Militer dan Penyelesaian Kasus Secara Transparan
Melihat perkembangan kasus ini, Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia mendesak agar pelaku penembakan diadili di peradilan umum, bukan peradilan militer, yang prosesnya sering kali tidak transparan. Dia juga mendorong pemerintah dan DPR RI untuk melakukan reformasi peradilan militer agar pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI dapat diproses secara adil di pengadilan umum.

Namun, Khairul Fahmi berpendapat bahwa kasus ini bisa disidangkan melalui mekanisme koneksitas sesuai dengan Pasal 89 KUHAP, yang memungkinkan kasus yang melibatkan aparat sipil dan militer diadili di pengadilan umum. Kendati demikian, Khairul menyatakan bahwa peradilan militer pun memiliki kapasitas untuk menangani kasus berat jika ada komitmen dari institusi TNI untuk transparan dan adil.

Harapan untuk Proses Hukum yang Adil
Terkait dengan proses hukum kasus penembakan di Tol Jakarta-Merak, Khairul berharap agar TNI, khususnya TNI AL, dapat menunjukkan komitmen penuh dalam mengungkap fakta dan menindak pelaku secara transparan, seperti yang dilakukan dalam kasus penembakan Dirut PT Asaba, Budhyarto Angsono, pada tahun 2003, yang berhasil disidangkan di peradilan militer dengan hasil yang jelas dan tegas.

Proses hukum yang transparan dan profesional sangat penting agar tidak hanya pelaku, tetapi juga pihak-pihak lain yang terlibat dalam jaringan tersebut, dapat diungkap dan diproses sesuai hukum yang berlaku. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan