Sistem Irigasi di Bali Jadi Daya Tarik Wisata

Sistem pengairan Subak, menjadi daya tarik wisatawan. Foto Net--

Radarlambar.Bacakoran.co - Pada pembukaan World Water Forum (WWF) ke-10 di Nusa Dua, Bali, Wakil Direktur Jenderal UNESCO, Xing Qu, mengungkapkan apresiasinya terhadap masyarakat Bali yang telah menjaga dan mengelola sumber daya air dengan sangat baik. Salah satu buktinya adalah sistem irigasi tradisional subak, yang menjadi warisan budaya dan praktik pertanian berkelanjutan.

Menurut Xing Qu, subak dapat menjadi solusi dalam menghadapi tantangan pengelolaan air di masa kini. Sistem ini telah digunakan oleh masyarakat Bali sejak abad ke-8 dan diwariskan secara turun-temurun. Keunikan dan efektivitasnya membuat subak diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada 29 Juni 2012. Selain mendukung sektor pertanian, subak juga berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan kehidupan masyarakat setempat.

Subak bukan hanya sekadar sistem irigasi, tetapi juga mencerminkan filosofi mendalam yang dianut oleh masyarakat Bali. Dalam ajaran Hindu Bali, sistem subak berlandaskan konsep Tri Hita Karana, yang menekankan keseimbangan antara manusia dengan sesama, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta.

Konsep ini terdiri dari tiga unsur utama: Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Parahyangan mencerminkan hubungan spiritual dengan pura yang berada di sekitar subak. Pawongan berkaitan dengan organisasi yang mengatur pengelolaan air secara adil di antara petani. Sementara Palemahan mencerminkan kepemilikan tanah dan batas wilayah subak.

Selain itu, pura-pura yang berdiri di sekitar subak, seperti Pura Ulun Carik atau Pura Bedugul, menjadi simbol spiritual yang memperkuat hubungan manusia dengan alam. Para petani secara rutin mengadakan upacara di pura-pura ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan kemakmuran dalam kepercayaan Hindu Bali.

Selain berperan dalam sektor pertanian, subak juga menarik perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara. Salah satu contohnya adalah Desa Wisata Jatiluwih di Penebel, Tabanan. Terletak di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut dan berada di kaki Gunung Batukaru, desa ini memiliki area persawahan berundak yang luas dengan sistem subak yang masih dijalankan dengan baik.

Hamparan sawah hijau yang tertata rapi dengan sistem subak menjadi pemandangan indah yang menarik minat wisatawan. Para pengunjung dapat merasakan langsung kehidupan petani dengan mengikuti berbagai aktivitas pertanian, seperti membersihkan sawah, membajak lahan, meratakan tanah, menanam padi, hingga memanen hasil pertanian. Pengalaman ini memberikan wawasan lebih dalam tentang bagaimana masyarakat Bali menjaga tradisi agraris mereka.

Selain keindahan alamnya, Desa Wisata Jatiluwih juga terkenal dengan Festival Jatiluwih yang rutin diselenggarakan setiap tahun. Festival ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat terhadap Dewi Sri. Berbagai seni pertunjukan khas Bali, seperti tari Rejang Kesari, tari Bungan Sandat, tari Metangi, tari Cendrawasih, dan tari Margapati turut memeriahkan acara ini.

Keberadaan subak sebagai sistem irigasi tradisional yang bertahan selama berabad-abad menunjukkan betapa pentingnya kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan. Selain memberikan manfaat bagi sektor pertanian dan lingkungan, subak juga memiliki potensi besar dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan.

Dengan kombinasi antara keindahan alam, nilai budaya, dan pengalaman wisata edukatif, sistem subak di Bali bukan hanya sekadar warisan leluhur, tetapi juga aset berharga yang patut dilestarikan. Perpaduan antara seni budaya, kearifan lokal, dan pemandangan yang menakjubkan menjadikan subak sebagai daya tarik wisata yang layak untuk dikunjungi.*

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan