Pakar di Daerah Terkering di Dunia Panen Kabut untuk Dijadikan Air Minum

Para pakar mulai 'memanen kabut' untuk dijadikan sebagai air minum di kawasan gurun. Ilustrasi/Pixabay--

Radarlambar.bacakoran.co-Para peneliti mulai mengembangkan metode pemanenan kabut sebagai sumber air minum bagi masyarakat di kawasan gurun yang menghadapi kekeringan ekstrem.

Penelitian terbaru di Gurun Atacama, Chili, menunjukkan bahwa teknik ini dapat mengumpulkan hingga 5 liter air per meter persegi setiap hari.  

Virginia Carter Gamberini, ahli geografi dari Universidad Mayor di Santiago, Chili, menjelaskan bahwa pemanenan kabut bisa menjadi alternatif untuk mengatasi ancaman kekurangan air yang diperkirakan akan terjadi pada 2050.

Ia menyoroti bahwa kota-kota berkembang pesat di wilayah gurun sangat bergantung pada air tanah, yang sebagian besar digunakan untuk industri pertambangan dan pertanian.  

Salah satu kota yang terdampak adalah Alto Hospicio, dengan lebih dari 100.000 penduduk di pinggiran Iquique. Saat ini, hampir seluruh kebutuhan air minum kota tersebut dipasok melalui truk dari sumber air tanah yang berjarak sekitar 70 kilometer.

Dengan meningkatnya permintaan dan berkurangnya cadangan air tanah, metode alternatif seperti pemanenan kabut menjadi semakin penting.  

Proses ini cukup sederhana. Jaring-jaring khusus digantung secara vertikal menghadap angin yang membawa kabut pantai "camanchaca." Partikel air yang tersangkut pada jaring akan terkumpul dan menetes ke selokan, lalu disalurkan untuk konsumsi.

Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Environmental Science, metode ini dapat menghasilkan antara 0,2 hingga 5 liter air per meter persegi per hari selama bulan-bulan berkabut.  

Meski menjanjikan, volume air yang dikumpulkan masih jauh dari mencukupi kebutuhan total Alto Hospicio, yang mencapai 300.000 liter per minggu.

Gamberini dan timnya memperkirakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dibutuhkan sekitar 17.000 meter persegi jaring pemanen kabut.  

Kendati demikian, pemanenan kabut tetap dianggap sebagai solusi yang berpotensi membantu daerah-daerah yang menghadapi krisis air akibat perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam.

Para peneliti mendorong pengembangan lebih lanjut agar teknologi ini dapat diintegrasikan dengan metode konservasi air lainnya demi keberlanjutan pasokan air di kawasan gurun.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan