Badai PHK Menerpa, Bisakah Mimpi Ekonomi Terbang 8 Persen Terwujud?

Indonesia dilanda gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup besar. -Foto Dok --
Radarlambar.bacakoran.co - Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia dilanda gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup besar, berdampak pada ribuan pekerja. Salah satu kasus yang paling mencolok adalah penutupan pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang berujung pada pemecatan lebih dari 10.000 pekerja.
Penutupan pabrik ini terjadi setelah Sritex dinyatakan pailit, mengakhiri perjalanan panjang mereka sebagai salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara.
Selain Sritex, gelombang PHK juga melanda beberapa perusahaan besar lainnya. Yamaha, yang menutup dua pabrik produksinya di Indonesia, mem-PHK sekitar 1.100 pekerja.
Di Cikarang, pabrik semikonduktor Sanken juga harus menutup operasionalnya, mempengaruhi hampir 900 orang pekerja. Tak hanya itu, perusahaan startup seperti e-Fishery pun terkena dampak skandal laporan keuangan ganda yang menyebabkan PHK massal terhadap sekitar 400 karyawan.
Terbaru, dua pabrik sepatu di Banten, yakni PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh, juga harus merumahkan lebih dari 4.000 pekerjanya. Badai PHK yang melanda Indonesia ini merupakan kelanjutan dari kondisi serupa pada tahun sebelumnya. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatatkan 77.965 pekerja yang terkena PHK pada 2024, sebuah angka yang meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang tercatat sebanyak 64.855 orang.
Imbas Abainya Pemerintah Terhadap Industri Domestik
Menurut Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, badai PHK ini merupakan dampak dari kelalaian pemerintah dalam mengelola industri domestik. Andry berpendapat bahwa pemerintah telah membiarkan industri dalam negeri “suffering” akibat banjir barang impor yang terus menggempur pasar Indonesia, baik yang legal maupun ilegal.
Produk impor yang masuk ke Indonesia sering kali dijual dengan harga lebih murah dibandingkan produk lokal, sehingga menekan daya beli masyarakat terhadap produk dalam negeri. Akibatnya, permintaan terhadap produk lokal menurun, yang pada gilirannya menyebabkan gangguan pada kinerja keuangan perusahaan. Jika kondisi ini terus berlanjut, tidak jarang perusahaan yang akhirnya terpaksa menutup operasionalnya, yang berujung pada PHK massal.
“PHK ini wajar terjadi karena pemerintah membiarkan industri domestik tertekan oleh produk impor. Langkah konkret dari pemerintah seharusnya lebih dari sekadar pidato yang sering didengar dari Presiden. Kebijakan nyata yang bisa membantu meringankan beban industri sangat diperlukan,” ujar Andry.
Ancaman Bagi Pertumbuhan Ekonomi
Gelombang PHK yang terus menerus terjadi tentu berpotensi mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengungkapkan bahwa ekonomi Indonesia akan mengalami kesulitan untuk tumbuh, terlebih dalam mencapai target pertumbuhan yang ambisius. Salah satu dampaknya adalah penurunan daya beli masyarakat, yang selama ini menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut Huda, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada kuartal IV 2024, konsumsi rumah tangga mencatatkan kontribusi sekitar 54 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, dengan adanya gelombang PHK yang terus berlanjut, Huda khawatir daya beli masyarakat akan terganggu, yang tentunya akan mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi.
"Dampak dari PHK ini akan terasa lebih nyata pada semester kedua tahun ini. Jika konsumsi rumah tangga tertekan, saya rasa sangat sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 5,2 persen, apalagi angka 8 persen yang lebih tinggi," kata Huda.
Mencapai Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan