Gugatan ke MK: Aturan Kerugian BUMN Bukan Kerugian Negara Dipersoalkan

Gedung Mahkamah Konstitusi RI. Foto:Dok/Net--
Radarlambar.Bacakoran.co - Seorang warga bernama Rega Felix mengajukan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut menyoroti aturan terkait Badan Pengelola Investasi yang diberi nama Daya Anagata Nusantara (Danantara) serta ketentuan mengenai kerugian BUMN.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari situs resmi MK pada Rabu 26 Maret 2025, perkara ini telah teregistrasi dengan nomor 38/PUU-XXIII/2025. Total terdapat lima pasal yang digugat oleh pemohon.
Pasal-Pasal yang Digugat
Berikut adalah isi pasal dalam UU BUMN yang menjadi objek gugatan:
Pasal 3H ayat (2): Keuntungan atau kerugian yang dialami Badan dalam melaksanakan investasi merupakan keuntungan atau kerugian Badan.
Pasal 3X ayat (1): Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara.
Pasal 4B yang berbunyi: Keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN.
Pasal 9G berbunyi: Anggota Direksi, Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Pasal 87 ayat (5): Karyawan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan penyelenggara negara.
Alasan Gugatan
Pemohon berpendapat bahwa aturan dalam UU BUMN ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan berpotensi melemahkan pengawasan terhadap BUMN, sehingga rawan korupsi. Dalam permohonannya, Rega Felix menilai penerapan business judgment rule (BJR) dalam undang-undang tersebut justru bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa perekonomian nasional harus dikelola demi kesejahteraan rakyat.
"VOC di masa lalu adalah perusahaan terbesar di dunia, bahkan lebih kuat dari BUMN karena memiliki hak octroi untuk eksploitasi wilayah. Namun, VOC akhirnya bangkrut karena minimnya pengawasan yang menyebabkan korupsi masif. Untuk apa kita mengulangi kesalahan sejarah dengan membiarkan BUMN besar dan berkuasa tetapi tanpa kontrol yang jelas?" ujar pemohon dalam gugatannya.
Lebih lanjut, pemohon menyoroti bahwa pejabat BUMN seharusnya tetap dianggap sebagai penyelenggara negara karena mereka menerima kewenangan langsung dari Presiden. Jika dibiarkan, aturan ini dapat memicu skandal korupsi besar, seperti yang terjadi dalam kasus 1MDB di Malaysia.
Potensi Dampak dan Harapan Pemohon
Pemohon menekankan bahwa kerugian yang dialami BUMN tidak seharusnya hanya dianggap sebagai kerugian korporasi semata, melainkan juga berpotensi berdampak pada perekonomian negara. Ia khawatir bahwa aturan yang ada justru menjadi celah hukum bagi korupsi yang semakin meluas dalam tubuh BUMN.
"Dengan melihat berbagai skandal yang telah terjadi di BUMN, aturan ini bisa menjadi blunder yang memperburuk tata kelola perusahaan negara serta menurunkan kepercayaan publik," tegasnya.
Pemohon berharap Mahkamah Konstitusi dapat menghapus pasal-pasal tersebut dan memastikan bahwa pengelolaan BUMN tetap berada dalam koridor transparansi dan akuntabilitas, sesuai dengan semangat UUD 1945.
Gugatan ini menjadi perdebatan penting dalam tata kelola BUMN di Indonesia. Keputusan MK nantinya akan sangat menentukan bagaimana negara mengelola BUMN ke depan, apakah akan lebih berorientasi pada fleksibilitas bisnis atau tetap dalam pengawasan ketat sebagai bagian dari entitas negara. Masyarakat dan pengamat ekonomi pun menunggu putusan MK dalam perkara ini. (*)