Filosofi Ketupat Lebaran, Lebih dari Sekadar Hidangan Hari Raya

Ilustrasi. Ketupat jadi makanan yang khas ada saat libur lebaran. Foto-iStockphoto--
Radarlambar.bacakoran.co- Ketupat selalu menjadi hidangan khas yang hadir di meja makan saat Lebaran. Dibuat dari beras yang dibungkus janur kuning, ketupat umumnya disantap dengan kuah santan, opor ayam, atau hidangan lainnya. Namun, lebih dari sekadar makanan, ketupat memiliki makna filosofis yang dalam, terutama dalam budaya masyarakat Jawa dan Nusantara.
Dalam tradisi Jawa, ketupat dikaitkan dengan istilah *ngaku lepat* yang berarti mengakui kesalahan, serta laku papat atau empat tindakan yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan. Empat makna ini terdiri dari:
- Lebaran, yang melambangkan berakhirnya puasa dan datangnya hari kemenangan.
- Luberan, yang menggambarkan pentingnya berbagi rezeki dengan sesama.
- Leburan, yang berarti saling memaafkan dan menghapus kesalahan.
- Laboran, yang mencerminkan kemurnian hati setelah melewati bulan penuh ibadah.
Selain dari namanya, bentuk dan bahan ketupat juga mengandung simbolisme tersendiri. Janur kuning yang digunakan sebagai pembungkus melambangkan perlindungan dan penolak bala. Beras di dalamnya menjadi simbol rezeki dan kemakmuran.
Kuah santan yang biasanya menemani ketupat berasal dari kata santen, yang memiliki bunyi serupa dengan ngapunten atau memohon maaf. Sementara itu, anyaman ketupat yang rumit mencerminkan kehidupan manusia yang penuh dengan kesalahan dan dosa. Namun, ketika ketupat dibelah, isinya yang putih bersih menjadi simbol hati yang suci setelah saling memaafkan di hari yang fitri.
Lebih dari sekadar makanan, ketupat menjadi simbol kebersamaan, keikhlasan, dan perayaan kemenangan setelah menjalani bulan penuh pengorbanan.
Tradisi ini terus dijaga, mengingatkan bahwa Idulfitri bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga tentang makna yang lebih dalam dalam kehidupan bermasyarakat.(*)