Pencurian Kripto 620 Juta Dolar yang Diduga Disponsori Korea Utara

Pencurian Kripto 620 Juta Dolar yang Diduga Disponsori Korea Utara. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Pada 29 Maret 2022, dunia siber dikejutkan dengan hilangnya 620 juta dolar AS dalam bentuk stablecoin Ethereum dan USDC dari Ronin Network, blockchain yang digunakan oleh gim populer Axie Infinity. Meskipun kejadian tersebut sangat besar, tidak ada alarm peringatan yang muncul, dan kejahatan itu baru terungkap setelah penyelidikan mendalam oleh firma keamanan blockchain seperti Chainalysis.
Kecurigaan awal menyatakan bahwa peretas tersebut berhasil memasuki sistem melalui teknik spear-phishing, dengan mengirimkan tawaran pekerjaan palsu yang mengarah pada kompromi kunci pribadi. Namun, investigasi lebih lanjut menunjukkan bahwa pencurian ini bukanlah aksi peretas biasa, melainkan operasi yang disponsori oleh negara. Para penyelidik akhirnya mengungkapkan bahwa serangan ini dilakukan oleh kelompok peretas yang bekerja di bawah kendali pemerintah Korea Utara.
Korea Utara telah lama terlibat dalam serangan dunia maya, menggunakan metode ini untuk mengumpulkan dana guna mengatasi sanksi ekonomi dan mendanai program nuklirnya. Negara ini telah menjadi salah satu pemain utama dalam kejahatan dunia maya, dengan operasi yang lebih canggih dan luas dibandingkan dengan kebanyakan negara.
Evolusi Perang Dunia Maya Korea Utara
Kehadiran Korea Utara dalam dunia siber bermula pada awal 2000-an, ketika pemimpin saat itu, Kim Jong-il, menyadari bahwa serangan siber dapat menjadi alternatif murah untuk senjata konvensional. Melalui pembentukan Biro 121, yang berfungsi seperti tim operasi gelap militer, Korea Utara mulai merekrut dan melatih talenta muda dalam bidang komputer dan matematika untuk mengembangkan kemampuan serangan siber.
Pada dekade 2010-an, Korea Utara semakin mematangkan strategi sibernya, dengan kelompok peretas terkenal seperti Lazarus Group, yang berfokus pada pencurian uang, serta APT38, yang mengkhususkan diri dalam menargetkan bank dan sistem pembayaran global. Keberhasilan mereka dalam perampokan Bank Bangladesh pada 2016, meskipun gagal mencapai target utama, memperlihatkan kemampuan mereka dalam mengeksploitasi sistem keuangan.
Seiring berjalannya waktu, peretas Korut mulai mengalihkan perhatian mereka ke dunia mata uang kripto. Kelemahan sistem ini, yang terdesentralisasi dan sulit dilacak, membuatnya menjadi sasaran yang ideal untuk mencuci dana hasil kejahatan. Beberapa serangan besar dilakukan terhadap bursa kripto, dengan peretasan pada Coincheck Jepang pada 2018 yang menghasilkan 530 juta dolar AS dalam bentuk token NEM, serta pencurian 620 juta dolar pada 2022 yang terkait dengan Ronin Network.
Metode Operasi dan Adaptasi
Meski dikenal dengan sistem internet yang terbatas, Korea Utara berhasil memanfaatkan tenaga kerja yang tersebar di berbagai negara, seperti Tiongkok, Rusia, dan Asia Tenggara. Para peretas Korut sering menggunakan identitas palsu untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan teknologi dan mengakses data sensitif. Dalam beberapa kasus, mereka juga berhasil menyusup ke sistem dan merusak data atau mencuri informasi berharga.
Selain itu, teknik yang digunakan semakin canggih, termasuk pengaburan jejak melalui platform DeFi, penggunaan mixer untuk menyembunyikan alamat dompet, dan teknik pencucian dana yang lebih halus melalui berbagai protokol terdesentralisasi.
Pada awal 2025, FBI mengonfirmasi bahwa Lazarus Group berada di balik pencurian 1,5 miliar dolar dari bursa kripto Dubai, Bybit. Pencurian ini dilakukan melalui kombinasi serangan phishing dan teknik pengaburan berlapis, yang mempertegas reputasi Korea Utara sebagai pemain utama dalam kejahatan siber global.
Menghadapi Ancaman Kejahatan Siber Korut
Untuk menghadapi ancaman ini, banyak negara telah meningkatkan upaya pertahanan siber mereka. Kolaborasi internasional antara AS, Korea Selatan, dan Jepang semakin diperkuat, sementara alat pembelajaran mesin dan AI digunakan untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan dalam blockchain. Meskipun begitu, sifat terdesentralisasi dari mata uang kripto dan lambannya regulasi global membuat penegakan hukum dalam dunia kripto sangat sulit.
Pemerintah Korea Utara sendiri terus beradaptasi, dengan mencuci dana melalui berbagai cara yang semakin kompleks. Di sisi lain, mereka juga sabar dalam menunggu waktu yang tepat untuk menguangkan dana hasil kejahatannya.
Korut, meskipun menghadapi sejumlah kegagalan, tetap menjadi kekuatan yang sangat berbahaya di dunia maya. Serangan siber yang mereka lakukan bukan lagi masalah tentang apakah hal itu mungkin terjadi, tetapi kapan hal tersebut akan terjadi dan bagaimana siapnya kita untuk menghadapi dampaknya. (*)