Serikat Buruh Ungkap Dugaan Pelanggaran PT Yihong usai PHK Massal

Pekerja PT Yihong Novatex Indonesia, datangi pabrik mencari informasi terkait PHK, Cirebon, Jawa Barat Minggu 6 April 2025 lalu.//Foto:dok/net.--
Radarlambar.Bacakoran.co – Pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran yang dilakukan oleh PT Yihong Novatex Indonesia menuai gelombang protes dari para pekerja. Serikat Buruh Demokratis Independen (SBDI) menilai langkah tersebut bukan hanya tidak sesuai aturan, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis perusahaan untuk membungkam suara buruh.
Krisma Maulana, Ketua SBDI PT Yihong, menyatakan bahwa PHK massal ini patut dicurigai sebagai pelanggaran terhadap peraturan ketenagakerjaan. Ia menegaskan bahwa manuver perusahaan seolah disengaja untuk melemahkan kekuatan serikat buruh yang baru saja terbentuk.
Bahkan, masalah hubungan industrial di PT Yihong sendiri bukanlah hal baru, dimana sejak 2022 lalu, warga Desa Kanci, Kabupaten Cirebon—lokasi pabrik berada—sudah menyuarakan protes karena merasa dipinggirkan dalam proses perekrutan tenaga kerja. Warga menuntut agar masyarakat lokal diberi prioritas dalam kesempatan kerja.
Ketegangan meningkat pada awal 2025. Pada 31 Januari, sejumlah pekerja yang belum tergabung dalam serikat mengadukan dugaan pelanggaran hak normatif ke UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah III Cirebon. Tak lama berselang, pada 3 Februari, buruh mendirikan serikat SBDI PT YNI-KASBI dan mendaftarkannya ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Cirebon.
Tindak lanjut dari pengaduan tersebut dilakukan pada 10 Februari 2025 ketika petugas pengawasan ketenagakerjaan turun langsung ke lapangan. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam nota resmi bernomor 1476/TK.04.04/Pk Wil III Crb yang diterbitkan pada 28 Februari. Dokumen itu mengungkapkan berbagai pelanggaran, seperti:
Tidak adanya kompensasi bagi pekerja kontrak,
Penulisan utang jam kerja yang tidak sesuai regulasi,
Status buruh harian lepas yang dibiarkan tanpa perubahan meskipun sudah bekerja terus-menerus,
Dan absennya sosialisasi peraturan perusahaan selama tiga tahun beroperasi.
Alih-alih menindaklanjuti temuan itu, perusahaan justru melakukan PHK bertahap kepada buruh yang tercantum dalam nota pengawasan. Tiga gelombang PHK berlangsung dimana tahap pertama terhadap 20 orang, lalu 60 orang dan terakhir tiga orang pekerja yang di berhentikan. Krisma menyebut bahwa para buruh yang dipecat seharusnya sudah diangkat menjadi karyawan tetap, sesuai dengan aturan ketenagakerjaan.
Puncak konflik terjadi pada 10 Maret 2025, ketika manajemen memutuskan untuk memecat seluruh tenaga kerja yang berjumlah 1.126 orang. Keputusan sepihak itu dilakukan tanpa melalui mekanisme dialog atau perundingan bipartit.
Pihak perusahaan berdalih bahwa pembatalan pesanan dari pelanggan karena keterlambatan pengiriman menjadi penyebab utama PHK massal tersebut. Namun, alasan itu dinilai tidak cukup untuk membenarkan pemutusan kerja tanpa perlindungan hukum terhadap hak-hak buruh.
Sebagai bentuk solidaritas, serikat buruh dari berbagai perusahaan di bawah naungan Konfederasi KASBI turut turun ke jalan. Pada 11 Maret 2025, mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan pabrik dan melanjutkannya ke Kantor Bupati Cirebon. Tuntutan mereka jelas: manajemen harus mematuhi hasil pemeriksaan UPTD dan segera mempekerjakan kembali seluruh buruh yang di-PHK.
Menanggapi klaim bahwa perusahaan mengalami kebangkrutan, Krisma menyatakan bahwa hingga kini belum ada putusan resmi dari Pengadilan Niaga. Ia menegaskan bahwa status pailit harus diputuskan melalui jalur hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan.
"Ini bukan sekadar urusan bisnis. Ini adalah bentuk nyata pelanggaran hak buruh dan ketidakpatuhan terhadap hukum. Pemerintah wajib turun tangan dan bertindak tegas," tutup Krisma.(*)