Usai Lakukan PHK, Buruh Bongkar Dugaan Pelanggaran PT Yihong

Aksi protes ratusan pekerja PT Yihong Novatex Indonesia beberapa waktu lalu. -Foto Dok---

Radarlambar.bacakoran.co - Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan PT Yihong Novatex Indonesia terhadap lebih dari seribu buruh menuai kecaman luas dari kalangan serikat pekerja. Perusahaan yang beroperasi di Desa Kanci, Kabupaten Cirebon ini dinilai telah melakukan pelanggaran serius terhadap ketentuan hukum ketenagakerjaan dan prinsip-prinsip keadilan industrial.

Gelombang protes menguat sejak awal Maret 2025, setelah manajemen PT Yihong mengambil keputusan drastis dengan menghentikan seluruh aktivitas produksi dan memutus hubungan kerja terhadap 1.126 buruh secara sepihak. Keputusan ini dilakukan tanpa melalui proses bipartit, tripartit, atau perundingan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Krisma Maulana, Ketua Serikat Buruh Demokratis Independen (SBDI) PT Yihong Novatex Indonesia, menyebut langkah manajemen tidak hanya mengabaikan prosedur hukum, tetapi juga merupakan bentuk intimidasi terhadap gerakan buruh. Ia menyebut PHK ini terjadi tak lama setelah serikat kami resmi terbentuk dan didaftarkan ke dinas tenaga kerja. Buruh yang aktif menyuarakan hak-haknya justru menjadi sasaran pemutusan kerja.

Kemarahan buruh bukan tanpa dasar. UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah III Cirebon telah turun langsung ke lapangan pada Februari lalu dan menemukan berbagai pelanggaran normatif. Dalam nota pemeriksaan resmi bernomor 1476/TK.04.04/Pk Wil III Crb, sejumlah poin mencolok terungkap, seperti tidak adanya pembayaran kompensasi bagi pekerja kontrak, pencatatan utang jam kerja yang tak sesuai ketentuan, status buruh harian lepas yang tetap mengambang meskipun telah bekerja secara terus-menerus, serta tidak adanya sosialisasi peraturan perusahaan selama tiga tahun operasi.

Alih-alih menindaklanjuti temuan tersebut, perusahaan justru melancarkan PHK secara bertahap terhadap buruh yang namanya tercantum dalam nota pengawasan. Dalam waktu singkat, tiga gelombang pemecatan dilakukan: dimulai dari 20 orang, dilanjutkan 60 orang, dan berakhir pada 3 buruh yang tersisa sebelum PHK besar-besaran diumumkan.

Manajemen PT Yihong menjelaskan bahwa pembatalan pesanan dari mitra luar negeri akibat dari keterlambatan pengiriman sebagai alasan utama dilakukan penghentian operasi. Namun hingga kini, belum ada dokumen resmi yang menguatkan klaim kebangkrutan tersebut.

Krisma menegaskan, tidak terdapat keputusan dari Pengadilan Niaga yang menetapkan status pailit bagi PT Yihong. Dengan demikian, argumen mengenai kebangkrutan belum bisa dijadikan pembenaran hukum atas tindakan PHK massal. Ia menilai, kebangkrutan itu harus dibuktikan secara hukum, bukan sekadar klaim sepihak. Tanpa putusan resmi, maka seluruh hak normatif buruh tetap berlaku.

Aksi solidaritas dari berbagai serikat buruh terus mengalir. Pada 11 Maret 2025, ribuan buruh dari berbagai daerah yang tergabung dalam Konfederasi KASBI melakukan aksi unjuk rasa di depan pabrik dan dilanjutkan ke Kantor Bupati Cirebon. Mereka menuntut agar pemerintah daerah dan pusat turun tangan menangani kasus ini, serta mendesak manajemen perusahaan untuk mempekerjakan kembali seluruh buruh yang di-PHK.

Aksi ini juga menjadi simbol perlawanan terhadap praktik-praktik ketenagakerjaan yang sewenang-wenang, serta memperlihatkan kegagalan sistem pengawasan ketenagakerjaan yang selama ini dianggap lemah dalam melindungi hak-hak pekerja.

Kasus PHK PT Yihong menjadi sorotan nasional, bukan hanya karena skalanya yang besar, tetapi juga karena menyangkut isu strategis ketenagakerjaan: perlindungan buruh, kekuatan serikat, dan ketaatan korporasi terhadap aturan.

Serikat buruh menilai pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun pusat, tidak bisa hanya bersikap pasif atau sekadar menengahi. Mereka mendesak adanya intervensi tegas, baik dalam bentuk sanksi administrasi maupun penegakan hukum yang jelas. Jika dibiarkan, praktik serupa dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi hubungan industrial di tanah air. Ia menegaskan bahwa ini bukan sekadar konflik antara perusahaan dan buruh. Ini soal keberpihakan negara pada rakyat pekerja.(*/edi)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan