Dari Pesisir Minangkabau ke Pusat Metropolitan

Kota Padang / Foto---Net.--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat, memegang peranan penting di sisi barat Pulau Sumatra. Terletak di antara deretan bukit dan kawasan hutan lindung, luas wilayah kota ini mencapai 694,34 kilometer persegi.
Sebagai kota pelabuhan utama yang langsung menghadap Samudra Hindia, Padang memiliki posisi strategis.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Padang mengalami peningkatan dari 919.145 jiwa pada 2022 menjadi 939.851 jiwa pada 2024, dan diperkirakan akan menyentuh angka 954.177 jiwa di akhir tahun. Tingkat pertumbuhan tahunannya mencapai 1,26 persen.
Sejarah panjang Kota Padang bermula dari era Kerajaan Pagaruyung, ketika masyarakat Minangkabau dari wilayah pegunungan seperti Batusangkar, Solok, dan Agam mulai merantau ke daerah pesisir.
Dahulu, Padang hanyalah sebuah kampung kecil di muara Batang Arau, tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan. Kedudukannya mulai diperhitungkan saat pedagang dari Aceh menjadikannya tempat persinggahan.
Puncak perhatian terhadap wilayah ini terjadi pada abad ke-17, ketika Belanda melalui VOC mulai aktif di kawasan tersebut.
Seiring waktu, Padang berkembang menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan daerah pedalaman Minangkabau dengan jalur niaga internasional. Emas, kopi, dan rempah-rempah menjadi komoditas utama yang diekspor melalui pelabuhannya.
Masuk ke abad ke-20, pelabuhan Teluk Bayur mulai berfungsi untuk pengiriman batu bara dan semen, memperkuat peran Padang sebagai simpul ekonomi regional.
Selama masa kolonial, penguasaan atas Padang beberapa kali berpindah tangan di antara kekuatan Eropa. Inggris sempat menguasainya pada 1781, diikuti oleh kedatangan bajak laut Prancis, hingga akhirnya Belanda kembali menguasai kota ini pada 1819 lewat Traktat London.
Tahun 1837, pemerintah Hindia Belanda menetapkan Padang sebagai pusat administrasi pantai barat Sumatra, dan statusnya diperkuat menjadi kota (gemeente) pada awal abad ke-20, dengan pembagian wilayah menjadi beberapa distrik atau wijk.
Pada masa Perang Dunia II, Padang turut merasakan dampak perubahan geopolitik global. Jepang menduduki kota ini pada Maret 1942, memaksa Belanda mundur. Informasi tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia baru diterima di Padang akhir Agustus 1945.
Namun, kehadiran Sekutu pada Oktober tahun tersebut menyebabkan kota ini diduduki selama lebih dari setahun, hingga akhirnya resmi menjadi bagian Republik Indonesia pada Maret 1950, setelah sebelumnya berada dalam wilayah Republik Indonesia Serikat.
Setelah kemerdekaan, perkembangan administratif kota terus berlanjut. Pada 1950, wilayah Padang diperluas dan ditetapkan sebagai daerah otonom oleh Gubernur Sumatera Tengah.
Puncaknya terjadi pada 29 Mei 1958, ketika Padang ditetapkan sebagai ibu kota resmi Provinsi Sumatera Barat, menggantikan Bukittinggi, sesuai kebijakan pemerintah pusat.