Selamat Jalan Hamzah Sulaiman: Ikon Budaya, Kuliner, dan Jiwa di Balik The House of Raminten

Hamzah Sulaiman. Foto/instagram @oleh-olehraminten--

Radarlambar.bacakoran.co -Dunia kuliner dan budaya Yogyakarta tengah berduka. Hamzah Sulaiman, sosok di balik kesuksesan The House of Raminten dan salah satu ikon khas kota budaya ini, meninggal dunia pada usia 75 tahun. Kepergian Hamzah tak hanya meninggalkan kesedihan, tetapi juga jejak inspiratif yang mendalam dalam dunia usaha, seni, dan tradisi Jawa.

Kabar wafatnya disampaikan melalui akun resmi Instagram House of Raminten, mengisyaratkan duka yang mendalam dari keluarga besar Raminten Group dan para penggemar setianya.

Dari Pelayan Kapal ke Pelopor Budaya Kuliner
Hamzah Sulaiman lahir pada 7 Januari 1950 sebagai anak bungsu dari pasangan Hendro Sutikno (Tan Kiem Tik) dan Tini Yunianti (Nyoo Tien Nio), pendiri grup usaha legendaris Mirota. Ia menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengambil jurusan Bahasa Inggris.

Masa mudanya penuh warna. Hamzah sempat merantau, bekerja sebagai pelayan kapal pesiar dan juga di Amerika Serikat. Namun panggilan keluarga dan tanah kelahiran membawanya pulang, terlebih saat sang ayah jatuh sakit.

Tahun 1976, ia mulai mengembangkan usaha keluarga dengan mendirikan Mirota Batik. Setelah bangunan toko terbakar pada 2004, Hamzah bangkit dengan mendirikan Hamzah Batik, yang kini menjadi salah satu destinasi belanja utama wisatawan di Yogyakarta.

Lahirnya Sosok Raminten dan Filosofi di Baliknya
Nama Raminten tak sekadar brand. Ia lahir dari karakter yang Hamzah perankan dalam sebuah acara di TV lokal Yogyakarta. Karakter perempuan Jawa dengan busana tradisional lengkap ini menjadi begitu melekat, bahkan melampaui sekadar hiburan. Sosok Raminten menjelma menjadi simbol kebudayaan yang mengangkat kesederhanaan dan kearifan lokal.

Karakter inilah yang kemudian menjadi dasar dari The House of Raminten, sebuah restoran unik yang didirikan pada 26 Desember 2008 di kawasan Kotabaru. Awalnya hanya menjajakan aneka jamu, tempat ini berkembang menjadi restoran penuh nuansa Jawa—dari dekorasi, busana karyawan, hingga nama-nama menu yang nyentrik namun menggugah selera.

Salah satu daya tarik utamanya adalah sego kucing seharga seribu rupiah, bukti bahwa kuliner lezat dan pengalaman budaya tak harus mahal.

Warisan yang Tak Tergantikan
Hamzah bukan hanya pengusaha sukses. Ia adalah pendidik, panutan, dan seniman yang menggunakan usahanya sebagai medium memperkenalkan budaya. The House of Raminten bukan sekadar tempat makan, tapi ruang interaksi budaya dan refleksi nilai-nilai Jawa yang ramah, merakyat, dan penuh makna.

Kini, sosoknya mungkin telah tiada, namun warisan yang ia tinggalkan akan terus hidup dalam batik, jamu, makanan, dan terutama semangat untuk terus mencintai tradisi. (*)





Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan