Bos BI Sebut Perang Dagang Berdampak di Pasar Keuangan

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan dampak kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump telah terasa di pasar keuangan. -Foto Dok-BI-
Radarlambar.bacakoran.co - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menegaskan bahwa dinamika global yang dipicu oleh kebijakan proteksionisme Amerika Serikat telah membawa tekanan signifikan terhadap stabilitas pasar keuangan dunia. Dalam Rapat Dewan Gubernur BI yang digelar pada Rabu, 23 April 2025, Perry menyampaikan bahwa kebijakan tarif sepihak yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump berdampak langsung terhadap preferensi risiko investor global. Ketidakpastian yang terus meningkat telah membuat arus modal global mengalami pergeseran besar-besaran.
Kondisi tersebut memicu perubahan drastis dalam aliran portofolio investasi. Investor global cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, dan mengalihkannya ke aset-aset yang dianggap lebih aman seperti obligasi pemerintah di Eropa, Jepang, serta instrumen logam mulia seperti emas. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada likuiditas pasar modal di emerging market, tetapi juga menciptakan tekanan terhadap nilai tukar mata uang lokal akibat lonjakan permintaan terhadap mata uang asing utama.
Bank Indonesia juga mencermati adanya arus keluar modal yang berkelanjutan dari sektor surat utang dan pasar saham di negara berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa ketegangan geopolitik dan ketidakpastian kebijakan perdagangan telah memicu persepsi risiko yang meningkat, sehingga mendorong investor untuk menyesuaikan portofolionya demi menghindari potensi kerugian.
Sebagai respons terhadap situasi ini, Bank Indonesia menyesuaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2025. Proyeksi pertumbuhan diturunkan dari 3,2 persen menjadi hanya 2,9 persen. Perry menjelaskan bahwa penyesuaian ini mempertimbangkan dampak kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan oleh pemerintah AS pada awal April, serta langkah balasan dari Tiongkok. Ketegangan perdagangan ini tidak hanya memperburuk iklim investasi, tetapi juga menghambat arus perdagangan barang dan jasa secara global.
Penurunan volume perdagangan dunia menjadi sinyal utama bahwa fragmentasi ekonomi semakin dalam. Kegiatan ekspor-impor antara negara besar mulai melambat, dan ini berdampak langsung pada rantai pasok global serta pertumbuhan industri di berbagai negara. Dampak paling besar diprediksi akan dirasakan oleh Amerika Serikat dan Tiongkok, dua kekuatan ekonomi utama dunia yang menjadi pelaku utama dalam konflik perdagangan tersebut.
Di sisi lain, ketegangan ini turut memperbesar tantangan yang dihadapi bank sentral di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fluktuasi nilai tukar, potensi kenaikan inflasi akibat tekanan impor, serta pelemahan permintaan global menjadi perhatian utama dalam merumuskan kebijakan moneter yang adaptif dan pro-stabilitas.
Bank Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, memperkuat bauran kebijakan moneter, dan meningkatkan koordinasi dengan pemerintah serta lembaga keuangan internasional guna mengantisipasi dampak lanjutan dari dinamika global ini.(*/edi)