80 % Terumbu Karang di Seluruh Dunia Memutih Imbas Krisis Iklim

Ilustrasi. Terumbu karang dunia memasuki periode terburuk dengan pemutihan yang mencapai 80 persen dari total populasi terumbu karang seluruh dunia. -Foto REUTERS.--
Radarlambar.bacakoran.co - Pemutihan terumbu karang yang terjadi saat ini merupakan salah satu fenomena lingkungan yang paling mengkhawatirkan di dunia. Terumbu karang memainkan peran penting dalam ekosistem laut, tidak hanya sebagai rumah bagi berbagai spesies laut, tetapi juga berfungsi sebagai penghalang alami terhadap gelombang laut yang dapat merusak pesisir dan melindungi kehidupan di sekitarnya. Selain itu, terumbu karang juga memiliki peran penting dalam mendukung industri perikanan dan pariwisata di banyak negara tropis.
Pemutihan karang terjadi ketika terumbu karang mengalami stres lingkungan, terutama akibat perubahan suhu laut yang drastis. Terumbu karang memiliki hubungan simbiosis yang sangat penting dengan mikroorganisme yang disebut zooxanthellae, yang memberi warna pada karang. Zooxanthellae juga berfungsi menyediakan sebagian besar kebutuhan energi bagi karang melalui fotosintesis. Ketika suhu air laut meningkat terlalu tinggi, zooxanthellae tersebut mulai mati atau terkelupas dari karang, yang menyebabkan karang kehilangan warnanya dan berubah menjadi putih. Proses ini disebut sebagai pemutihan.
Pemutihan bukanlah tanda langsung kematian karang, tetapi jika suhu tinggi bertahan terlalu lama, karang akan kekurangan energi dan berisiko mati. Selain pemanasan global, faktor lain yang turut memperburuk kondisi terumbu karang adalah polusi, pengasaman laut, serta aktivitas manusia seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak atau penggunaan racun.
Kenaikan suhu laut akibat pemanasan global adalah penyebab utama dari pemutihan terumbu karang yang terjadi saat ini. Data ilmiah menunjukkan suhu rata-rata laut global telah meningkat hampir 1 derajat Celsius sejak era pra-industri dan diperkirakan akan terus meningkat. Pemanasan lautan yang terjadi secara global semakin memperburuk keadaan terumbu karang, yang sudah rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Studi terbaru menunjukkan bahwa hampir 84 persen terumbu karang di dunia telah terpapar panas, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peristiwa pemutihan sebelumnya. Misalnya, pada peristiwa pemutihan yang terjadi antara 2014 dan 2017, sekitar 68 persen terumbu karang terpapar suhu panas. Pemutihan yang terjadi saat ini, sejak Januari 2023, dapat dikatakan sebagai peristiwa keempat yang paling merusak.
Daerah yang memiliki terumbu karang dengan keanekaragaman hayati tertinggi, seperti Great Barrier Reef di Australia, Raja Ampat di Indonesia maupun Teluk Eilat di Israel yang kini juga terpengaruh. Great Barrier Reef, sebagai sistem terumbu karang terbesar di dunia, telah mengalami pemutihan yang meluas untuk keenam kalinya dalam sembilan tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa kondisi ekosistem ini semakin memburuk.
Di sisi lain Samudra Hindia, terumbu karang di sekitar Madagaskar dan pantai timur Afrika juga mengalami pemutihan. Bahkan kawasan yang dulunya dianggap lebih terlindungi, seperti taman iSimangaliso Wetland Park di Afrika Selatan, kini menghadapi pemutihan terumbu karang yang mengkhawatirkan.
Upaya untuk memulihkan terumbu karang yang terlanjur memutih sangat kompleks. Salah satu pendekatan yang sedang dijajaki adalah dengan melakukan pemuliaan terumbu karang atau transplantasi karang yang lebih tahan terhadap suhu tinggi. Beberapa penelitian juga mengembangkan varietas karang yang dapat bertahan lebih baik dalam kondisi suhu yang lebih panas.
Namun, tantangan terbesar tetap berada pada pengendalian perubahan iklim global yang menjadi akar masalah utama. Tanpa adanya pengurangan emisi gas rumah kaca yang signifikan, pemanasan lautan akan terus memperburuk kondisi terumbu karang di seluruh dunia. Oleh karena itu, selain upaya perlindungan dan restorasi lokal, diperlukan kebijakan global yang lebih tegas dalam mengurangi emisi dan melindungi lingkungan laut.
Kerusakan terumbu karang juga memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada perikanan dan pariwisata berbasis ekosistem laut. Sumber daya ikan yang bergantung pada terumbu karang sebagai habitatnya bisa berkurang, yang akan mempengaruhi pendapatan para nelayan. Selain itu, terumbu karang yang menjadi daya tarik utama dalam industri pariwisata juga akan kehilangan daya tariknya jika kondisi karang semakin memburuk.(*/edi)