Membayar Kebenaran dengan Nyawa: Jurnalis Gaza dalam Bayang-bayang Genosida

Kondisi Gaza terkini. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Di sudut-sudut reruntuhan Gaza, di antara debu dan darah, para jurnalis Palestina terus berdiri. Mereka bukan hanya peliput berita—mereka adalah saksi hidup dari tragedi kemanusiaan yang tak kunjung berhenti. Namun, tugas mulia mereka itu kini dibayar mahal. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 210 jurnalis tewas akibat serangan Israel. Sebuah angka yang mencatat rekor kelam global dalam sejarah kebebasan pers.
Pejabat tinggi PBB untuk hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki, Ajith Sunghay, menyebutkan dengan tegas: pembunuhan-pembunuhan ini mungkin disengaja. Dalam dunia jurnalistik, pernyataan seperti itu bukanlah kalimat ringan. Ini adalah tudingan berat yang, jika dibuktikan, tergolong kejahatan perang.
Di Hari Kebebasan Pers Sedunia, yang dirayakan secara global setiap 3 Mei, ironi ini semakin mencolok. Dunia mengenang pentingnya jurnalisme bebas, sementara di Gaza, jurnalis diburu, ditembak, dan dibom. Tak hanya itu, keluarga mereka turut menjadi sasaran. Rumah-rumah jurnalis dihancurkan. Sebagian besar dari mereka kini tak hanya kehilangan rekan kerja—tetapi juga anak, istri, orang tua.
Organisasi-organisasi hak asasi manusia, dari Pusat HAM Palestina hingga Komisi Tinggi HAM PBB, telah berulang kali menyuarakan kecaman. Tapi hingga kini, tak ada langkah konkret dari komunitas internasional. Keheningan global itu, seperti yang disampaikan berbagai organisasi media, justru memberi ruang bagi impunitas untuk tumbuh subur.
Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, Ismail Al-Thawabta, mencatat 212 jurnalis tewas, 409 luka, 48 ditangkap, dan puluhan lainnya kehilangan keluarga dalam konflik yang terus membara. Bahkan lembaga-lembaga media dan pelatihan jurnalisme menjadi target, dengan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp6,59 triliun.
Lebih menyakitkan lagi, banyak dari jurnalis yang gugur bukan bagian dari media internasional ternama. Mereka adalah jurnalis lokal, aktivis media sosial, warga biasa yang mencoba mengabarkan kebenaran. Mereka meliput perang dari garis terdepan—tanpa perlindungan, tanpa rompi anti peluru, hanya bersenjatakan kamera dan keberanian.
Pusat Hak Asasi Manusia Palestina menyebut pola serangan ini bukan kebetulan. Mereka menuduh Israel melakukan pembunuhan sistematis terhadap para jurnalis sebagai bentuk intimidasi dan upaya membungkam suara-suara yang mengungkap kengerian perang. Sebagian besar tewas dalam serangan udara; lainnya ditembak penembak jitu. Tidak ada yang aman.
Kini, seruan keadilan semakin keras menggema. Mahkamah Pidana Internasional didesak untuk membuka investigasi menyeluruh terhadap kejahatan terhadap jurnalis. Dunia dituntut tidak hanya untuk berbicara soal kebebasan pers, tetapi juga menjamin keselamatan mereka yang mempertaruhkan nyawa demi menyampaikan kebenaran.
Gaza mungkin adalah satu-satunya tempat di dunia di mana jurnalis tak hanya meliput perang—tetapi juga menjadi targetnya. Namun meski dibungkam, suara mereka tetap bergema. Lewat gambar, video, dan narasi yang berhasil mereka selamatkan sebelum ajal menjemput.
Di tengah puing-puing Gaza, jurnalisme belum mati. Ia justru menunjukkan wujud paling murninya—perjuangan untuk menyampaikan kebenaran, bahkan ketika dunia menutup mata. (*)