Gasifikasi Batu Bara Kembali Jadi Sorotan: Belajar dari Sukses dan Gagalnya Negara-Negara Lain

Tongkang pengangkut batubara-pixabay.com-
Radarlambar.bacakoran.co -Saat harga batu bara mulai turun, industri tambang justru menghidupkan kembali wacana lama: gasifikasi batu bara. Proyek ini sejatinya bukan hal baru. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM pernah melontarkan rencana hilirisasi batu bara sejak 2009, namun proyek ini berjalan bagai kapal tanpa arah — sesekali muncul, lalu tenggelam begitu saja.
Kini, dorongan untuk mempercepat proyek gasifikasi kembali mencuat, tak lepas dari keinginan para pelaku industri untuk mengamankan nilai tambah batu bara di tengah kondisi pasar yang kurang menguntungkan. Fokus utamanya adalah memproduksi dimetil eter (DME), bahan bakar alternatif yang digadang-gadang bisa menggantikan LPG.
Tapi bagaimana peluangnya? Untuk memahami potensi dan tantangannya, menarik melihat bagaimana negara-negara lain telah lebih dulu melangkah.
Cina: Pemain Dominan dengan Skala Industri
Cina menjadi contoh paling nyata bagaimana gasifikasi batu bara bisa dioptimalkan secara industri. Negara ini berhasil membangun sistem gasifikasi yang terintegrasi, bahkan menjadi produsen DME terbesar di dunia. Penggunaan batu bara diubah menjadi gas untuk kebutuhan industri, bahan bakar, hingga pupuk — semua dilakukan dengan efisiensi tinggi dan dukungan teknologi dari luar negeri.
Keberhasilan Cina bukan hanya soal teknologi, tapi juga konsistensi kebijakan dan arah pembangunan energi yang terstruktur.
Afrika Selatan: Sumber Energi Domestik dan Tulang Punggung Ekonomi
Afrika Selatan menawarkan studi kasus yang tak kalah menarik. Melalui perusahaan Sasol, negara ini memanfaatkan batu bara untuk memproduksi gas dan minyak sintetik dalam skala besar. Keberadaan proyek ini bahkan menjadi penopang penting ekonomi nasional, sekaligus menjawab kebutuhan energi domestik hingga hampir setengah dari konsumsi BBM dalam negeri.
Model Afrika Selatan menunjukkan bahwa hilirisasi batu bara bisa menjadi penggerak ekonomi, bukan hanya solusi teknis.
India: Dalam Proses, Tapi Penuh Perhitungan
India sedang bersiap-siap untuk melangkah serius ke arah gasifikasi. Negara ini membangun pabrik percontohan dan menyiapkan strategi nasional. Langkah India terbilang hati-hati namun ambisius, mengingat besarnya cadangan batu bara dan kebutuhan energi bersih yang terus meningkat.
Strategi bertahap ini memberi pelajaran penting bahwa proyek besar perlu perencanaan yang matang, tidak hanya dari sisi teknis, tapi juga dari sisi sosial dan ekonominya.
Amerika Serikat, Belanda, Australia: Ambisi Besar yang Terkendala Biaya
Berbeda dengan negara-negara di atas, tiga negara maju ini sempat menjajaki gasifikasi batu bara, namun akhirnya mundur perlahan. Hambatan utama datang dari mahalnya biaya produksi, terutama dalam menghasilkan produk seperti metanol dari batu bara. Tekanan regulasi lingkungan yang ketat juga menjadi faktor penghambat utama. Akibatnya, proyek-proyek tersebut lebih banyak berakhir sebagai eksperimen daripada solusi nyata.
Kegagalan mereka mengingatkan bahwa transisi energi tak hanya butuh teknologi canggih, tapi juga harus kompetitif secara ekonomi dan selaras dengan arah kebijakan lingkungan global.
Apa Pelajaran untuk Indonesia?
Indonesia punya potensi batu bara yang besar dan posisi strategis untuk mengembangkan gasifikasi. Tapi potensi saja tidak cukup. Diperlukan keseriusan dalam eksekusi, insentif yang menarik bagi investor, serta keberanian mengambil keputusan jangka panjang di tengah fluktuasi harga energi global.
Lebih dari sekadar proyek energi, gasifikasi batu bara bisa jadi tonggak transformasi industri jika dikelola dengan benar. Tapi tanpa arah dan kepemimpinan yang kuat, proyek ini bisa kembali jadi wacana musiman — hidup segan, mati pun enggan. (*)