Lari dan Fotografi: Peluang Bisnis Unik yang Makin Populer di Kota Besar

Lari dan Fotografi: Peluang Bisnis Unik yang Makin Populer di Kota Besar. Foto/net--
Radarlambar.bacakortan.co -Aktivitas lari makin digemari warga kota besar seperti Jakarta. Mulai dari lari pagi sebelum kerja, setelah pulang kantor, hingga akhir pekan, rutinitas sehat ini bukan cuma jadi ajang olahraga tapi juga tren gaya hidup yang sering dibagikan di media sosial. Momen ini dimanfaatkan dengan cerdas oleh sejumlah fotografer jalanan yang mengabadikan para pelari, lalu menjual fotonya sebagai kenang-kenangan atau bukti gaya hidup sehat.
Salah satu yang cukup sukses dalam bisnis ini adalah Joko Siswanto. Berawal dari hobi dan belajar secara otodidak, Joko mampu menjadikan fotografi olahraga jalanan sebagai ladang penghasilan. Sejak pandemi, saat tren lari dan bersepeda melonjak, Joko melihat peluang besar dan mulai menekuni bidang ini secara serius.
Dari pengalamannya, Joko menyebut bahwa bisnis fotografi olahraga di kota besar seperti Jakarta berkembang pesat, bahkan bisa menghasilkan puluhan juta rupiah tiap bulan. Umumnya, satu foto dijual dengan harga sekitar Rp100 ribu, namun jika pembeli mengambil banyak foto, harganya bisa lebih murah. Joko dan rekan-rekannya juga berusaha mengedukasi fotografer pemula agar tidak menjual karya dengan harga terlalu murah, mengingat perangkat dan tenaga yang dibutuhkan cukup besar.
Meski begitu, pasar mulai menunjukkan tanda jenuh karena semakin banyak fotografer yang ikut meramaikan. Saat ada event besar seperti lomba marathon atau Car Free Day di Jakarta, bisa ada lebih dari 200 fotografer yang menjajakan foto di satu lokasi. Ini tentu membuat persaingan semakin ketat dan omzet pun mulai menurun.
Di sisi lain, fotografer lain seperti Rizkiananda Chinta Cheppy lebih memilih mengincar event-event lomba lari resmi, terutama yang diadakan di akhir pekan. Baginya, peluang pelari membayar foto di event-event besar jauh lebih besar ketimbang foto harian di jalanan. Dari satu event saja, dia bisa meraih omzet jutaan rupiah.
Chinta juga aktif di lomba trail run yang medannya lebih menantang dan dinamis. Berbeda dengan foto di jalan raya yang cenderung diambil di satu titik, trail run memungkinkan fotografer berpindah-pindah lokasi untuk mendapatkan berbagai sudut menarik. Hal ini juga memberi pengalaman berbeda sekaligus kesempatan memotret lebih banyak foto.
Tren fotografi olahraga juga menjalar ke kota-kota lain, seperti Bandung. Judi Tandoko, yang awalnya bekerja sebagai driver ojek online, kini lebih memilih menjadi fotografer olahraga di kawasan Dago Bawah. Dengan pendapatan yang hampir setara tapi tenaga yang lebih ringan, Judi merasa pekerjaan sampingan ini sangat menjanjikan. Ia aktif di platform Fotoyu, sebuah marketplace yang menghubungkan fotografer dengan pembeli foto secara digital, termasuk melalui teknologi AI.
Namun, fenomena ini juga menimbulkan pro dan kontra. Beberapa orang merasa privasinya terganggu saat difoto di ruang publik tanpa izin, sementara yang lain justru terbantu karena mendapat foto profesional untuk diposting di media sosial. Judi menyarankan agar mereka yang keberatan untuk langsung mengajukan permintaan penghapusan foto.
Selain para profesional, anak muda bahkan pelajar SMP pun mulai merasakan manfaat dari fotografi olahraga. Seperti Albie Alfarizi Sembiring dari Medan, yang sekadar coba-coba mengasah kemampuan tapi kini bisa menghasilkan uang dari hobinya. Ia terinspirasi saat menonton turnamen badminton di luar negeri dan belajar banyak dari fotografer idolanya.
Sementara itu, fotografer lain di Medan, Syahran, rela menghabiskan waktu berjam-jam di perbukitan demi menangkap momen para pelari trail dengan latar alam yang indah. Usahanya membuahkan hasil, dengan penghasilan jutaan rupiah dari menjual foto melalui platform digital. (*)