Fenomena ‘Rojali’ Jadi Sinyal Lemahnya Daya Beli

Suasana pengunjung di Pusat Perbelajan Kota Kasablanka, Jakarta. -Foto CNBC Indonesia-

Radarlambar.bacakoran.co — Fenomena ‘Rojali’ atau rombongan jarang beli kini menjadi sorotan serius di tengah belum pulihnya konsumsi rumah tangga pasca pandemi Covid-19. Istilah ini merujuk pada perilaku masyarakat yang ramai mengunjungi pusat perbelanjaan namun tidak banyak melakukan transaksi, kecuali untuk kebutuhan dasar seperti makan dan minum.

Fenomena ini telah lama menjadi keluhan pelaku usaha ritel yang mengandalkan belanja langsung dari konsumen. Mereka mengamati bahwa mal dan pusat perbelanjaan terlihat penuh, namun pembelian barang non-esensial justru cenderung minim.

Badan Pusat Statistik (BPS) turut menanggapi tren tersebut dalam rilis resmi pada Jumat (25/7). Lembaga statistik nasional ini menyatakan bahwa berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, konsumsi dari kelompok rumah tangga berpendapatan atas tercatat mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan konsumsi bukan hanya terjadi di kelompok rentan atau miskin, tetapi juga mulai menyentuh segmen masyarakat menengah dan atas.

Meskipun demikian, BPS menekankan bahwa fenomena ‘Rojali’ tidak serta-merta berkaitan langsung dengan indikator kemiskinan. Namun, tren ini mencerminkan tekanan ekonomi yang mulai dirasakan secara luas, terutama oleh kelompok menengah rentan. Tekanan tersebut bisa muncul akibat peningkatan biaya hidup, stagnasi pendapatan, atau kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi jangka menengah.

Dalam konteks sosial, ‘Rojali’ dapat dipahami sebagai upaya kelompok masyarakat untuk tetap menikmati ruang publik dan hiburan ringan tanpa mengorbankan pengeluaran besar. Aktivitas seperti berkeliling mal, melihat-lihat barang, atau sekadar berkumpul di area publik menjadi bentuk refreshing dengan biaya terbatas.

BPS juga mencermati bahwa fenomena ini perlu diperhatikan sebagai indikator awal dari potensi menurunnya ketahanan konsumsi rumah tangga, terutama dari kelas menengah bawah. Jika dibiarkan, kondisi tersebut dapat berdampak pada struktur konsumsi nasional dan menghambat pemulihan ekonomi yang saat ini masih ditopang oleh belanja domestik.

Pemerintah diimbau agar tidak hanya fokus pada upaya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperkuat daya beli masyarakat rentan dan menengah melalui kebijakan fiskal yang mendorong konsumsi. Subsidi energi yang tepat sasaran, penyaluran bantuan langsung, serta penguatan sektor informal menjadi beberapa instrumen yang bisa digunakan untuk menjaga daya tahan ekonomi rumah tangga.

Sejauh ini, BPS belum memiliki survei khusus terkait fenomena ‘Rojali’. Namun lembaga itu menyebut bahwa kecenderungan tersebut bisa diobservasi secara tidak langsung melalui pola belanja rumah tangga yang tercatat dalam Susenas. Oleh karena itu, penguatan survei lapangan dan kajian kualitatif diharapkan dapat melengkapi analisis statistik untuk memahami perubahan perilaku konsumsi pascapandemi.

Dengan konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, keberlanjutan pemulihan sangat bergantung pada kemampuan masyarakat untuk kembali membelanjakan pendapatannya. Pemerintah perlu mencermati gejala sosial seperti ‘Rojali’ sebagai sinyal penting untuk menjaga momentum pemulihan nasional.(*/edi)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan