Radarlambar.bacakoran.co- Dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami tekanan signifikan sepanjang tahun 2025, menandai penurunan yang cukup tajam dan konsisten terhadap mata uang negara lain.
Indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan dolar terhadap sekeranjang mata uang utama dunia, tercatat turun hingga 8,64 persen sejak awal tahun hingga 23 Mei 2025, dari angka 108,48 menjadi 99,11.
Penurunan ini berlangsung secara berkelanjutan setiap bulan sejak Januari, dengan pelemahan bulanan yang semakin dalam dari 0,11 persen pada Januari menjadi 4,55 persen pada April.
Salah satu faktor utama di balik depresiasi dolar adalah kebijakan perdagangan agresif yang diterapkan Presiden Donald Trump, khususnya perang dagang yang dilancarkan terhadap berbagai negara. Awalnya, pasar meyakini bahwa kenaikan tarif impor akan memperkuat dolar dengan meningkatkan permintaan aset AS. Namun kenyataannya justru sebaliknya, nilai dolar melemah seiring ketidakpastian dan ketegangan perdagangan global yang semakin memburuk.
Tekanan terhadap dolar juga diperparah oleh aksi jual besar-besaran di pasar saham dan obligasi AS. Hal ini menunjukkan adanya penurunan kepercayaan investor asing terhadap aset-aset AS akibat kebijakan proteksionis yang dianggap merugikan pertumbuhan ekonomi. Investor mulai melepas kepemilikan mereka, sehingga menambah beban tekanan pada nilai dolar.
Selain itu, kekhawatiran akan potensi resesi ekonomi di AS makin membayangi pasar. Resesi dipastikan oleh National Bureau of Economic Research (NBER) berdasarkan evaluasi beberapa indikator penting, seperti pendapatan riil per kapita, tingkat pekerjaan di luar sektor pertanian, konsumsi pribadi, produksi industri, dan penjualan manufaktur serta perdagangan. Pada awal tahun ini, berbagai institusi besar seperti JPMorgan Chase dan Goldman Sachs menaikkan perkiraan kemungkinan resesi di AS menjadi sekitar 40 persen dan 20 persen dalam 12 bulan ke depan.
Sentimen negatif terhadap ekonomi AS juga diperkuat oleh jajak pendapat Reuters yang menunjukkan mayoritas ekonom melihat risiko resesi meningkat, serta langkah HSBC yang menurunkan peringkat saham AS akibat ketidakpastian kebijakan perdagangan.
Tekanan fiskal turut menjadi perhatian pasar setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Pajak dan Belanja yang memperkenalkan keringanan pajak sekaligus meningkatkan belanja untuk militer dan penegakan hukum perbatasan. Proyeksi menunjukkan bahwa langkah ini berpotensi menambah utang federal hingga US\$3,8 triliun selama sepuluh tahun ke depan, di tengah total utang pemerintah AS yang sudah mencapai US\$36,21 triliun.
Situasi ini diperparah dengan penurunan peringkat utang AS oleh lembaga Moody’s dari AAA menjadi Aa1, pemangkasan peringkat utang pertama sejak Perang Dunia II. Moody’s mengikuti langkah Fitch dan Standard & Poor’s (S\&P) yang sebelumnya menurunkan peringkat utang AS, semakin menguatkan sinyal peringatan terhadap kondisi fiskal dan ekonomi negara adidaya tersebut.
Secara keseluruhan, kombinasi kebijakan proteksionis, risiko resesi yang meningkat, dan masalah fiskal yang membayangi telah melemahkan posisi dolar AS di kancah global. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada nilai tukar mata uang, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian yang luas di pasar keuangan internasional.(*)