MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden: Pemerintah Siap Bahas Implikasi untuk Pilpres 2029

Ilustrasi/MK--

Radarlambar.bacakoran.co -Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Menteri Koordinator (Menko) Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan pemerintah menghormati dan mengikuti keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir, yang bersifat final dan mengikat.

Yusril menegaskan, seluruh pihak, termasuk pemerintah, harus patuh terhadap putusan MK ini, meskipun pengujian Pasal 222 ini telah dilakukan lebih dari 30 kali sebelumnya.

Perubahan Sikap MK terhadap Presidential Threshold
Keputusan MK ini mencerminkan perubahan signifikan dalam sikap terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Sebelumnya, ambang batas pencalonan presiden ditetapkan 20 persen berdasarkan perolehan kursi partai politik di DPR. Namun, MK menilai ketentuan ini bertentangan dengan hak politik rakyat serta tidak adil dan tidak rasional, karena dianggap menghambat hak-hak politik warga negara.

Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam putusan yang dibacakan Kamis (2/1/2025) ambang batas itu melanggar prinsip kesetaraan suara dalam sistem demokrasi Indonesia.  Dimana Pergeseran pendirian ini bukan hanya menyangkut angka ambang batas tetapi lebih mendasar, yakni pengusulan pasangan calon presiden serta wakil presiden seharusnya tidak tergantung pada perolehan kursi partai di DPR.

MK menilai bahwa presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang hak rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden tanpa adanya pembatasan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerintahan yang baik.

Implikasi Terhadap Pemilu 2029
Setelah tiga putusan yang membatalkan presidential threshold, yaitu Putusan MK Nomor 87, 121, dan 129/PUU-XXII/2024, pemerintah akan melakukan pembahasan lebih lanjut mengenai dampaknya terhadap Pilpres 2029. Menurut Yusril, pemerintah bersama dengan DPR akan membahas perubahan atau penambahan norma dalam UU Pemilu yang mengatur tentang hal ini.

Jika ada kebutuhan untuk merevisi UU Pemilu, Yusril menegaskan bahwa pemerintah akan bekerja sama dengan semua pihak terkait, termasuk KPU, Bawaslu, akademisi, dan masyarakat. "Kami akan melibatkan seluruh stakeholders dalam pembahasan ini," ujarnya.

Pedoman Rekayasa Konstitusional yang Diberikan MK
Dalam putusan MK tersebut, terdapat lima pedoman yang harus diikuti oleh pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, dalam merumuskan aturan baru terkait pencalonan presiden. Pedoman tersebut antara lain:

Hak Semua Partai untuk Mengusulkan Pasangan Capres-Cawapres
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa tergantung pada jumlah kursi di DPR.

Pengusulan Tidak Berdasarkan Perolehan Kursi
Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak didasarkan pada perolehan suara atau kursi di DPR.

Gabungan Partai Politik yang Seimbang
Partai politik peserta pemilu dapat bergabung, tetapi tidak boleh ada dominasi satu partai sehingga pilihan pemilih menjadi terbatas.

Sanksi Bagi Partai yang Tidak Mengusulkan Capres-Cawapres
Partai yang tidak mengusulkan pasangan capres-cawapres akan dikenakan sanksi, yaitu larangan mengikuti pemilu pada periode berikutnya.

Partisipasi Publik yang Bermakna
Proses rekayasa konstitusional harus melibatkan partisipasi aktif dari seluruh pihak, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR.

Dissenting Opinion: Pandangan Berbeda dari Beberapa Hakim MK
Meskipun putusan ini disetujui mayoritas hakim konstitusi, terdapat dua hakim yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka berpendapat bahwa penghapusan presidential threshold dapat mengarah pada ketidakstabilan politik dan memunculkan terlalu banyak pasangan calon presiden, yang bisa merugikan kualitas demokrasi.

Tantangan dan Harapan ke Depan
Seiring dengan penghapusan presidential threshold, tantangan besar bagi pemerintah dan DPR adalah bagaimana merumuskan peraturan baru yang tidak hanya memenuhi prinsip keadilan, tetapi juga menjaga kestabilan politik dan menciptakan pemilu yang demokratis.

Menurut Yusril, pemerintah akan melibatkan semua pihak dalam membahas rekayasa konstitusional tersebut, agar sistem pemilu ke depan semakin baik dan berkeadilan. Pihaknya bakal melibatkan akademisi pegiat pemilu serta masyarakat luas dalam pembahasan ini qagar menghasilkan aturan yang sesuai dengan prinsip demokrasi yang sehat.

Keputusan ini, meski diwarnai dengan berbagai pendapat, menjadi babak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia, yang menuntut perbaikan dan adaptasi terhadap kebutuhan politik dan konstitusional yang lebih baik. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan